Mungkinkah Capres Independen 2024?

OLEH: ASRI REZKI SAPUTRA

(Analis Penuntutan Pada Cabjari Banggai di Pagimana)

Waktu masih menunjukkan tahun 2022, namun kegembiraan akan penyelenggaraan pesta demokrasi tahun 2024 sudah terdengar hingga saat ini.

Hal ini terlihat dari banyaknya deklarasi-deklarasi untuk mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres dan Cawapres) Tahun 2024.

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.

Pada penyelenggaraan pemilu tahun 2014 dan 2019 kita hanya dipertontonkan dengan dua pasangan Capres dan Cawapres. Dari sisi efisiensi hal tersebut ide bagus dan positif mengingat hanya akan berlangsung satu tahap dengan jangka waktu lebih pendek, serta lebih menghemat biaya dan sumber daya.

Namun dari sisi demokratis hal tersebut menjadi permasalahan mengingat merugikan bagi figur-figur yang potensial maju dan mendapat dukungan dari masyakat, tetapi tak dicalonkan oleh partai politik. Tulisan ini akan menguraikan mungkinkah capres independen 2024?

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) telah mengamanatkan dalam pasal 222 pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, artinya dalam ketentuan tersebut mewajibkan terhadap partai politik yang tidak memperoleh 20% jumlah kursi DPR atau 25% suara sah nasional, partai politik tersebut dalam mengusulkan pasangan calonnya harus berkoalisi dengan partai lain.

BACA JUGA:  DSLNG Paparkan Inovasi Pengurangan Emisi CO2 di IPA Convex 2024

Adapun tujuannya menurut  Power dan Taylor  koalisi presidensial merupakan satu pilihan logis untuk mengimbangi dampak pemecah belah karakteristik institusional semacam gabungan presidensialisme multipartai dan perwakilan proporsional dalam sistem pemilihan umum. Situasi ini selaras dengan sistem presidensial multipartai di Indonesia saat ini.

Walaupun eksekutif atau presiden dalam sistem presidensial tidak bergantung terhadap legislatif dalam menjalankan pemerintahannya, namun presiden bisa terkendala oleh lembaga legislative melalui kekuasaan anggaran dan penetapan undang-undang, kekuasaan pengawasan, dan lainnya yang diberikan oleh konstitusi.

BACA JUGA:  Tragis, Mobil Pick Up Terperosok ke Jurang di Balantak

Di sini, kita bisa melihat banyaknya partai pendukung terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, tidak serta merta mendudukan pasangan calon tersebut menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden, sebab tidak terpenuhinya presidential threshold bagi partai politik lainnya dalam mengusulkan calonnya.

Dalam pasal 229 ayat 2 UU Pemilu KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu atau diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon.

Pun juga, dalam hal bakal Pasangan Calon yang diusulkan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pasal 229, maka KPU meminta kepada Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik yang bersangkutan untuk mengusulkan bakal Pasangan Calon yang baru sebagai pengganti.

Sehingga UU Pemilu saat ini tidak memungkinkan adanya calon tunggal dalam Pemilihan Presiden. Akan tetapi meskipun terdapat ketentuan tersebut, menurut penulis gemuknya koalisi partai yang dibangun akan menyulitkan dalam penentuan kebijakan. Sehingga calon presiden yang terpilih tidak lagi mewakili rakyat akan tetapi condong mewakili partai pengusung.

BACA JUGA:  Modus Tanya Alamat, Motor Milik Lansia di Nuhon Ini Raib Dibawa Maling

Maka sudah saatnya untuk mempertimbangkan adanya format mekanisme jalur rekrutmen dua pintu sebagai upaya mewujudkan sistem pemilihan presiden yang lebih demokratis.

Mekanismenya telah dikonstruksikan oleh Ni ‘Matul Huda melalui jalur rekrutmen dua pintu yakni jalur partai politik dan jalur independen. Pintu pertama diperuntukkan bagi calon yang memang diusung oleh partai politik peserta pemilu, sedangkan pintu kedua diperuntukkan bagi calon nonpartai yang ingin mencalonkan diri secara perseorangan.

Sehingga melalui penerapan jalur rekrutmen dua pintu ini akan menciptakan suasana pemilihan yang lebih demokratis dan pertarungan antar calon yang lebih kompetitif dan menghadirkan calon-calon yang lebih variatif.

Adapun rakyat, format semacam ini tentunya bisa menjadikan mereka lebih selektif dalam memilik para calon sedangkan bagi partai politik, diharapkan akan lebih giat dalam membina kader-kadernya dan bisa membenahi diri untuk bisa berperan secara optimal dalam sistem politik demokratis. (*)

Pos terkait