Menuju Ketahanan Pangan Melalui Pertanian Berkelanjutan 

Oleh: Lani Pelia dan Yan Sukmawan

(MAHASISWA SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI AGRONOMI DAN HORTIKULTURA INSTITUT PERTANIAN BOGOR)

Pertanian memiliki peran krusial dalam pemenuhan kebutuhan pangan dunia, dan saat ini, tantangan tersebut semakin kompleks seiring dengan meningkatnya populasi global. Seiring pertumbuhan jumlah penduduk, permintaan akan pangan pun meningkat secara signifikan. 

Menurut proyeksi PBB, populasi dunia diperkirakan mencapai sekitar 9,7 miliar pada tahun 2050 dan kemungkinan lebih dari 10 miliar pada pertengahan abad ke-21 (UN 2023). 

Oleh karena itu, penyediaan pangan yang cukup, bergizi, berkualitas, dan berkelanjutan menjadi suatu keharusan untuk menjaga ketahanan pangan global. Di tengah-tengah upaya ini, perubahan iklim menjadi faktor kunci yang mempengaruhi produktivitas pertanian. 

Peningkatan suhu, perubahan pola hujan, dan kejadian ekstrem iklim dapat mengancam ketahanan pangan dengan mengakibatkan penurunan hasil pertanian dan kerentanannya terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. 

Oleh karena itu, pengembangan ekologi pertanian yang berkelanjutan dan adaptif menjadi suatu kebutuhan mendesak. Hal ini mencakup praktik pertanian yang ramah lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, serta inovasi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. 

Pertanian Berkelanjutan dan SDG

Pertanian yang berkelanjutan dan adaptif sangat relevan dengan beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yang merupakan inisiatif global untuk mengatasi berbagai tantangan, termasuk kelaparan, kemiskinan, dan perubahan iklim. 

Pertama, praktik pertanian yang berkelanjutan dapat mendukung pencapaian SDG 2 (Zero Hunger) dengan memastikan ketersediaan pangan yang cukup, aman, dan bergizi bagi seluruh populasi. Selain itu, dengan memperhatikan aspek lingkungan, praktik pertanian yang berkelanjutan juga berkontribusi terhadap pencapaian SDG 13 (Climate Action) dengan mengurangi jejak karbon dan mengadaptasi sistem pertanian terhadap perubahan iklim. 

BACA JUGA:  Meriahkan HUT ke-60 Sulawesi Tengah,SKK Migas - JOB Tomori Ikuti Sulteng Expo 2024

Selain itu, SDG 15 (Life on Land) juga terkait dengan upaya pelestarian lingkungan dalam konteks pertanian. Praktik pertanian yang berkelanjutan membantu melestarikan keanekaragaman hayati, mencegah degradasi tanah, dan mendukung pemulihan ekosistem pertanian. Penerapan teknologi pertanian yang inovatif juga mendukung pencapaian SDG 9 (Industry, Innovation, and Infrastructure) dengan meningkatkan efisiensi produksi pertanian.

Pemenuhan Kebutuhan Pangan Dalam Negeri dan Membuka Potensi Ekspor

Pemenuhan pangan dalam negeri di Indonesia adalah isu krusial yang terkait erat dengan luas lahan tanaman pangan, jumlah populasi, dan tren masa depan. Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas, tetapi tantangan utama adalah pemanfaatan yang optimal. Alih fungsi lahan untuk pembangunan non-pertanian dan deforestasi dapat mengurangi luas lahan yang tersedia untuk pertanian. 

Dari segi jumlah populasi, pertumbuhan penduduk yang cepat menjadi faktor kunci dalam pemenuhan pangan. Semakin banyak populasi, semakin besar permintaan akan pangan. Penyediaan pangan yang cukup harus diimbangi dengan pertumbuhan populasi untuk mencegah ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi. 

Pertumbuhan populasi yang akan terus berlanjut, menempatkan tekanan tambahan pada sistem pangan. Urbanisasi dan perubahan pola konsumsi masyarakat juga dapat mempengaruhi permintaan pangan dan menuntut adaptasi dalam strategi pertanian. Pemerintah perlu berupaya meningkatkan produktivitas pertanian melalui pengembangan teknologi pertanian, peningkatan varietas tanaman, dan praktek-praktek pertanian berkelanjutan. Fokus pada ketahanan pangan dan keamanan pangan terus ditingkatkan, dengan upaya untuk meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan bagi semua lapisan masyarakat. 

BACA JUGA:  Meriahkan HUT ke-60 Sulawesi Tengah,SKK Migas - JOB Tomori Ikuti Sulteng Expo 2024

Pemanfaatan teknologi dan inovasi, seperti pertanian berbasis teknologi informasi, menjadi semakin penting untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi. Perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam, termasuk tanah dan air, menjadi kunci dalam menjaga ketahanan pangan jangka panjang.

BPS (2018) memperkirakan penduduk Indonesia pada 2022 yaitu 278,75 juta jiwa dan pada 2045 diperkirakan mencapai 311,6–319,0 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia secara langsung akan meningkatkan kebutuhan pangan. Diperkirakan rata-rata konsumsi beras penduduk Indonesia adalah 105,72 kg/kapita/tahun pada tahun 2022. Angka ini telah mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena pergeseran preferensi pangan yang menjadi lebih beragam. 

Berdasarkan data yang dirilis BPS (2022), luas panen padi di Indonesia tahun 2022 diperkirakan 10,61 juta hektar yang terkonsentrasi di pulau Jawa dengan produksi beras sebesar 32,07 juta ton sehingga masih terdapat cadangan stok beras sekitar 2,6 juta ton beras atau 8,11% dari total produksi beras nasional pada 2022. Berdasarkan tren pertumbuhan penduduk dan konsumsi beras, jika luas lahan sawah tetap maka produksi beras nasional pada 2045 harus mencapai 32,24 juta ton beras untuk mencukupi konsumsi beras per kapita. Jika Indonesia ingin mengekspor beras, diperlukan cadangan sekitar 50% sehingga perlu diupayakan produksi beras nasional sebesar 64,50 juta ton.

Upaya dan Inovasi untuk Mencapai Ketahanan Pangan

Dalam paradigma baru, upaya peningkatan produksi tanaman seyogyanya tidak terpaku pada perluasan areal tanam, mengingat lahan-lahan produktif semakin terbatas. Untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan perlu melibatkan berbagai praktik pertanian berkelanjutan dan inovasi pengelolaan agroekosistem. Beberapa contoh inklusifnya meliputi: 

BACA JUGA:  Meriahkan HUT ke-60 Sulawesi Tengah,SKK Migas - JOB Tomori Ikuti Sulteng Expo 2024

Agroforestri

Integrasi antara tanaman kehutanan dan tanaman budidaya (crops) dalam sistem pertanian dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, memberikan layanan ekosistem, dan menyediakan sumber daya kayu, yang semuanya mendukung ketahanan pangan jangka panjang. Sebagai contoh, pada subsektor perkebunan kelapa sawit, pemerintah menargetkan peremajaan kelapa sawit seluas 540.000 hektare sampai dengan 2024 (Gokomodo 2023). Tanaman kelapa sawit fase TBM 1 dan TBM 2 dapat ditumpangsarikan dengan tanaman padi sesuai dengan rekomendasi PPKS. 

Dari target luas areal peremajaan kelapa sawit, dapat dialokasikan 30% lahan untuk tumpeng sari dengan tanaman padi sehingga dapat memberikan tambahan hasil beras sekitar 405.000 ton beras.

Peningkatan Kelembagaan

Pemerintah perlu membentuk kemitraan antara pemerintah dan perusahaan swasta serta mendorong sektor swasta untuk menyediakan pembiayaan dan investasi yang berkelanjutan dalam infrastruktur pertanian seperti irigasi, pemrosesan beras, dan transportasi. Upaya pengembangan pasar dan distribusi dapat ditempuh dengan memperluas jaringan distribusi dan pemasaran produk beras ke pasar lokal dan internasional.

Pendidikan Pertanian

Program pendidikan, pelatihan, dan pendampingan untuk petani tentang praktik-praktik pertanian berkelanjutan diperlukan untuk memastikan adopsi yang lebih luas dan efektif. Diperlukan program-program pelatihan teknis kepada petani mengenai praktik pertanian terbaik, termasuk teknik penanaman, penggunaan pupuk, irigasi efisien, dan pengendalian hama. 

Pendidikan pertanian digital dapat dilakukan dengan mengajarkan petani cara menggunakan teknologi pertanian digital, termasuk aplikasi seluler, platform online, dan sensor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Program pendampingan dan mentorship untuk petani juga diperlukan dalam rangka memfasilitasi pertukaran pengetahuan antar petani yang lebih berpengalaman dan yang lebih baru. (*)

Pos terkait