Moderasi Beragama Untuk Apa?

Oleh : Fitria A. Sulila, A.Md.Kom
(Ketua Komunitas Sahabat Hijrah Luwuk)

Moderasi beragama menjadi istilah yang setiap waktu sering memenuhi ruang publik. Terlebih, Presiden Jokowi telah mencanangkan 2022 sebagai Tahun Moderasi. Itu sebab berbagai program moderasi beragama digencarkan.

Dalam sambutannya secara virtual pada pembukaan Musyawarah Kerja Nasional dan Musyawarah Nasional Alim Ulama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kamis (8/4/2021), Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah berkomitmen terus menghidupkan moderasi beragama bagi masyarakat. Salah satunya dengan menghidupkan toleransi antarumat beragama.

Menurutnya, toleransi adalah bagian hidup terpenting dalam moderasi beragama. Sehingga pemerintah bersikap tegas dan tak akan berkompromi terhadap tindakan intoleransi yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia berharap, PKB tidak kendor untuk terus menyemai nilai moderasi dan keseimbangan dalam beragama. Pun menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan antarsesama, sehingga radikalisme dan terorisme tidak ada lagi di Indonesia (KOMPAS.com, 8/4/2021).

Wamenag Zainut Tauhid menyampaikan,  Kemenag terus mengampanyekan program penguatan moderasi beragama. Apalagi sudah menjadi program nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Ia menjelaskan, penguatan moderasi menjadi solusi antara dua kutub ekstremitas beragama, yaitu ekstremitas kanan yang tekstualis dan ultrakonservatif serta ekstremitas kiri yang liberal, juga solusi tepat menghadapi kemajemukan bangsa (mediaindonesia.com, 8/4/2021).

BACA JUGA:  Perkara Narkoba Masih Dominan di Banggai, 190 Gram Sabu dan 7.062 THD Dimusnahkan

Menanggapi pernyataan Presiden Jokowi mengenai Moderasi dan toleransi sebagai lawan dari radikalisme dan terorisme.

Nampaknya bukan kali pertama narasi ini dilemparkan ke publik, seakan-akan Radikalisme dan Ekstrimisme ini yang kemudian menjadi bumerang atau virus yang sangat membahayakan di negeri kita tercinta. Lalu Moderasi beragama-lah yang dijadikan obat penawar atas keresahan itu. Padahal stigmatisasi Muslim sebagai radikal, ekstremis, teroris dan Islam sebagai radikalisme, ekstremisme, terorisme, jelas tak berdasar. Baik secara ajaran maupun realitas. Terlebih, menyebut radikalisme sebagai sumber utama masalah bangsa, ini merupakan kedustaan.

Tak ada korelasi antara kerusakan di berbagai bidang kehidupan dengan radikalisme. Justru hasil penelitian Siti Zuhro (LIPI) mengungkapkan, sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme, tetapi ketimpangan sosial (kompas.com, 29/12/2019). Peneliti Belanda bernama Beren Schot menyatakan hal senada. Ia tak setuju pemerintah menggunakan narasi radikalisme distempelkan kepada orang dan atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah (republika.co.id, 22/12/2019).

Secara bahasa, moderasi berasal dari Bahasa Inggris, moderation yang berarti sikap sedang, tidak berlebih-lebihan. Dalam bahasa Arab, kata moderasi sering diartikan wasatiyyah.

BACA JUGA:  Kejari Banggai Musnahkan Barang Bukti 21 Perkara Inkracht

Adapun KBBI mengartikannya sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran ekstremisme. Jadi, moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku menyimpang yang tidak diajarkan agama (Kompasiana.com, 13/8/2020).

Kementerian Agama (Kemenag) yang menjadi pelaksana utama moderasi beragama. Menag Yaqut Cholil Qoumas telah meminta jajarannya mempercepat implementasinya dalam berbagai program. Sesuai arahan presiden, program besar-besaran moderasi beragama dilakukan di lembaga pendidikan dan rumah ibadah. Pun akan dijabarkan dalam sub-sub tema ceramah, khutbah, maupun materi pendidikan keagamaan.

Menag berharap, program berjalan dalam tahun 2021 ini. Apalagi Pokja Moderasi Beragama Kemenag telah menyelesaikan peta jalan (roadmap) moderasi beragama. Untuk memperkuatnya, Gus Yaqut juga mengusulkan perlunya penerbitan peraturan presiden (Perpres) (kemenag.go.id, 9/4/2021).

Adapun untuk merawat kerukunan umat beragama di masyarakat, juga telah dicanangkan Desa Moderasi Beragama dan Sadar Kerukunan.

Pertanyaannya sederhana, apakah moderasi beragama ini sesuai yang diajarkan Rasulullah? Bukankah kita patut bercontoh dan meneladani toleransi ala Rasulullah?

Dalam QS Al-Baqarah ayat 208, Allah Subhanahu wa ta ‘ala berfirman, yang artinya : “Wahai Orang-orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian”.

BACA JUGA:  Sahabat Herwin Yatim Diskusikan Ide dan Gagasan di Pilkada Banggai

Awalnya, ayat ini turun perihal Abdullah bin Salam bersama para sahabatnya yang berasal dari Yahudi Bani Nadhir di Madinah. Meskipun sudah memeluk Islam, mereka masih terpengaruh oleh norma-norma agama Yahudi seperti penghormatan terhadap hari Sabtu dan keharaman daging unta.

Sikap setengah-setengah ini yang ditegur oleh Allah Subhanahu Wata’ala agar setiap muslim berislam secara kaffah yaitu berislam secara keseluruhan, menerapkan syariat secara total dalam semua lini kehidupan, bukan setengah-setengah dan bukan mengambil hukum syariat sesuai kesukaan hati.

Sekarang, bukankah moderasi beragama memasukan ide moderat di dalamnya yaitu ide yang tidak bersandar dalam Al-Qur’an dan hadist. Bahkan hanya bersumber dari akal manusia yang terbatas, kemudian menggambarkan bahwa Islam ada yang kaku, ada yang ekstrim kanan atau kiri.

Sungguh, bagi penulis kita tidak butuh moderasi beragama karena yang kita butuhkan adalah syariat islam sempurna bisa diamalkan dalam seluruh aspek kehidupan agar tak hanya menjadi umat yang toleran tapi juga umat yang rahmatan lil alamin. ***

Pos terkait