Pengangguran, Wirausaha dan Filosofi Gadis Cantik Menawan

Oleh: Ihsan Basir, SH, LLM (Pj. Bupati Banggai Kepulauan)

Saat makan siang di sebuah warung di Kota Salakan, saya berdiskusi ringan dengan Ibu pemilik warung bersama ajudan dan beberapa mitra kerja.  Tukar pikiran ini juga saya lakukan dengan beberapa mitra kerja yang saya temui beberapa waktu kemudian. Dari dialog ringan itu, ada beberapa hal menarik yang saya dapatkan.  Pertama, ketika saya bertanya apakah pengusaha dan wirausahawan itu adalah orang yang sama, maka beragam jawaban didapatkan terkait dua terminologi di atas. Beberapa orang — meskipun awalnya mengatakan bahwa dua hal tersebut jelas berbeda – namun sekian menit kemudian, mereka cenderung memberikan persepsi, bahkan definisi yang sama menyangkut wirausahawan dan pengusaha. Kedua, ketika ditanya apakah yang harus mereka lakukan apabila Kelompok Usaha yang akan didampingi mengalami kesulitan dalam permodalan, maka hampir semua menjawab, akan mengajukan proposal kepada Pemda agar dapat terlepas dari permasalahan tersebut!

Hal menarik pertama bukan terletak pada soal benar atau salahnya jawaban menyangkut perbedaan pengusaha dan wirausahawan, tetapi lebih pada persepsi yang melekat pada wirausawan dan pengusaha tersebut. Rata-rata menurut mereka, pengusaha adalah orang yang melakukan usaha pada skala yang lebih besar dari wirausahawan. Atau dengan kata lain, menganggap wirausahawan adalah mereka yang berusaha pada lingkup usaha dengan skala modal yang kecil. Hal ini tentunya kontradiktif apabila kita merujuk pada konsep kewirausahawan yang dibawa oleh Josep A. Schumpeter (2008, Capitalism, Socialism, and Democracy, Harperperenial). Dalam pandangan Schumpeter, terminology entrepreneurship (kewirausahawan), atau pelaku wirausaha adalah “mereka yang mau mengambil resiko dan berinovasi tampil melakukan perubahan untuk menghasilkan barang dan jasa”. Ini berarti, Schumpeter menempatkan Bill Gates dan penemu Facebook Mark Zuckerberg yang kaya raya itu, masuk dalam ruang lingkup wirausahawan. Jelas terlihat bahwa wirausahawan bukan saja mereka yang memiliki skala modal tingkat menengah, tetapi juga bagi mereka dengan pundi-pundi usaha super besar.

BACA JUGA:  Pemda Banggai Berkomitmen Jadikan Profesi Guru Bermartabat

Saya tak mengkhawatirkan jawaban teman-teman diskusi di atas. Yang menjadi soal adalah “tak dekatnya” kita dengan substansi kewirausahawan. Hal ini tampak dengan persepsi “underestimate” soal wirausaha. Mendengar kata wirausaha, sama dan sebangun dengan sosok pencari rejeki miskin modal, dan berusaha pada tataran kecil dan mikro. Padahal, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Bill Gates dan Mark Zuckerberg yang masuk dalam lingkup orang kaya sejagat itu, nyatanya adalah wirausahawan!!

Kita mungkin lambat dalam berbenah soal tenaga kerja muda berketrampilan. Dan ketika saya berbicara tentang “kita” saya sedang merujuk pada pemerintahan sebagai autokritik. Padahal pembenahan dari sisi “supply” ini dapat dijadikan panacea untuk meringankan tekanan pasar kerja saat ini. Keterlambatan kita bukan dari sisi program peningkatan pekerja berketrampilan yang diarahkan pada wirausaha, akan tetapi lebih pada strategi bagaimana membumikan konsep kewirausahawan itu dalam benak pencari kerja. Kita tak serius, kalau tak mau disebut gagal, dalam menanamkan gagasan kemandirian yang merupakan substansi dasar dari wirausaha. Dalam tubuh wirausaha, seharusnya lebih kental rasa kemandirian dan bahkan diharapkan dapat merekrut orang lain untuk dipekerjakan dalam merealisasikan ide-idenya. Itulah sebabnya mengapa jawaban kedua tentang pengajuan proposal kepada Pemda dalam mengatasi persoalan permodalan bagi calon kelompok usaha yang akan didampingi, menjadi menarik bagi saya. Menarik, karena tak satupun kawan-kawan diskusi saya yang mengambil substansi kewirausahawan, yaitu mental mandiri dan tak tergantung orang lain. Padahal, sejak diusung oleh Pemerintah pada tahun 2009, program kewirausahawan yang dikembangkan di Universitas-Universitas di Indonesia ini, diarahkan pada tujuan akhir bahwa karena terbatasnya lapangan kerja upahan, maka upaya mewujudkan wirausahawan yang tak tergantung pada pemerintah, merupakan suatu hal yang wajib hukumnya.

BACA JUGA:  Meriahkan HUT ke-60 Sulawesi Tengah,SKK Migas - JOB Tomori Ikuti Sulteng Expo 2024

Berkaitan dengan proposisi di atas, mari kita tengok kondisi statistik ketenagakerjaan di Banggai Kepulauan pada Tahun 2022. Dari sisi jumlah pengangguran, maka tingkat pengangguran tertinggi berada pada kelompok angkatan kerja dengan tingkat pendidikan SMA Kejuruan. Kelompok ini mengambil 5,79 persen dari jumlah penganggur. Kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi di atas SMA (D1, D2, D3, S1) sebesar 5,29 persen, serta lulusan SMA Umum sebesar 2,30 persen.

Dapat dilihat bahwa persentase pengangguran yang lumayan serius dihadapi oleh pengangguran dengan latar pendidikan menengah (vokasional) dan pendidikan tinggi. Terkait hal ini, saya mau mengutip pendapat Profesor Elfindri, Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas.

Menurut beliau, pengangguran dari kalangan muda dengan latar pendidikan menengah terjadi karena apa yang disebut sebagai proses tekan menekan atau depressing effect di pasar kerja. Maksudnya mereka yang menamatkan pendidikan sarjana mau ”menurunkan” posisinya untuk masuk ke pekerjaan yang ditawarkan pada jenjang pendidikan menengah. Karena penawaran angkatan kerja semi terdidik lumayan besar, maka sebagaian dari mereka tak terserap dalam pasar kerja formal.

Kondisi ini menurut Profesor Elfindri, memaksa tenaga kerja tidak terdidik untuk wajib bekerja meskipun harus bekerja di atas jam kerja normal termasuk bekerja serabutan. Pada sisi lain, para kaum terdidik merasa memiliki ”nilai waktu lebih mahal”, sehingga mereka masih berharap dan menunda untuk mendapatkan pekerjaan yang nilainya sama bahkan lebih tinggi dari pasar kerja. Pada situasi dan kondisi inilah, mereka rela menyandang status sebagai pencari kerja. Analogi sederhananya adalah sebagai berikut; seorang gadis cantik dan menawan akan terus menahan harga ”jualnya” untuk mendapatkan pria yang sesuai dengan ”value” kecantikan yang dimilikinya. Untuk mendapatkan pria yang sesuai itulah, maka gadis tersebut rela memperpanjang waktu tunggu untuk menikah.

BACA JUGA:  Pemda Banggai Berkomitmen Jadikan Profesi Guru Bermartabat

Berdasarkan kondisi persaingan ketat dalam pasar kerja sebagaimana telah diuraikan di atas, maka peralihan ketergantungan pada pekerjaan formal dan penciptaan wirausaha baru menjadi salah satu solusi pengangguran yang paling rasional. Kita tak perlu berharap sepadan dengan Singapura yang telah mencetak 10 % wirausahawan. Dengan kondisi factual 1,5 sampai 1,6 % wirausahawan yang kita miliki saat ini, seyogyanya menjadi cambuk dalam memacu semangat untuk terlepas dari ketergantungan pekerjaan upahan. Wirausaha harus menjadi girah bagi angkatan kerja di Indonesia, termasuk Sulawesi Tengah. Terlepas dari fakta tragis terkait pengetahuan dan persepsi kita soal kewirausahawan, program-program yang bersifat penumbuhan jiwa kewirausahawan harus terus dilakukan. Tentunya dengan upaya-upaya strategis yang lebih bersifat membumi dalam mengenalkan jiwa wirausaha pada angkatan kerja di ujung timur Sulawesi Tengah ini. Target minimal 2 % jumlah wirausahawan, tak saja menjadi target negara, tetapi lebih spesifik dijadikan target Provinsi dan Kabupaten dalam strategi perluasan kesempatan kerja. Walahu’alam bishawab. (*)

Pos terkait