Perwujudan Good Governance Dalam Pemilu: Mengurai Tugas PPK Selaku Perpanjangan Tangan KPU

OLEH : Gunawan Iskandar
(Wakil Ketua FOKAL IMM Banggai)

Good governance terlahir dari konsep yang ditawarkan oleh World Bank berdasarkan kajian yang
dilakukan pada negara-negara sub-sahara, dimana hasil kajian menunjukan bahwa beberapa negara
berada diambang kehancuran yang dimuat dalam laporan crisis of governance. Atas krisis tersebut
bank dunia merekomendasikan agar dilakukan reformasi administrasi dengan menerapkan prinsip
good governance. Diantara beberapa prinsip good governance yang direkomendasikan adalah
prinsip demokratis dengan bentuk yang lebih konkrit berupa tindakan partisipatif dan taat pada
aturan hukum.

Rekomendasi atas penerapan good governance dilatarbelakangi dengan keadaan tata administrasi pemerintahan yang menitikberatkan pada aktivitas eksploitasi pihak yang kuat kepada pihak yang
lemah, efek dari penjajahan dan perang dunia kedua.

Herbert A. Simon menyatakan bahwa
administrasi adalah kerjasama untuk mencapai tujuan, yang oleh Sondang P. Siagian dinyatakan sebagai pola kerjasama rasional untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Administrasi pemerintahan dengan pola lama cenderung bercorak menjajah karena menurut pandangan administrasi saat itu negara adalah tujuan bukan pelayanan masyarakat, selanjutnya berdasarkan perkembangan sosial politik saat itu yang ditandai dengan berakhirnya perang dunia kedua, para ahli menyarankan agar pola adiministrasi yang sudah using tersebut diganti dengan pola administrasi baru yang menekankan pada pelayanan publik.

Tata kelola administrasi dalam bentuk teknisnya berupa tata kelola pemerintahan yang tidak demokratis adalah ciri dari administrasi publik dengan pola lama atau menjajah, karena publik atau masayarakat berada diluar sistem dan tidak dapat mengakses sistem, sehingga hanya menjadi objek yang tentu saja tidak menguntungkan, sedangkan pola administrasi yang lebih menekankan pada pelayanan publik mencoba membuka ruang bagi publik oleh otorisasi pemerintahan selaku administrator yang juga sebagai penentu dan pengambil kebijakan, sehingga kepentingan masyarakat atau publik tersebut dapat terakomodir, hal ini berarti kepentingan publiklah yang menjadi sasaran bukan kepentingan otorisasi atau bahkan oligarki.

Organisasi pemerintahan hakekatnya adalah organisasi yang berfungsi mengayomi dan membangun
dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk itu maka pemerintah memiliki fungsi
mengatur yang menurut Ndraha pemerintah sebagai badan yang memproses pemenuhan kebutuhan
manusia sebagai konsumen produk-produk pemerintahan akan pelayanan publik dan sipil. Itulah
sebabnya pemerintah (government) dalam konsep negara demokkratis terlahir dari delegasi
kekuasaan oleh rakyat, sehingga menurutnya government menunjuk pada suatu organisasi yang
melakukan pengelolaan (administrasi) berdasarkan kewenangan tertinggi, yakni negara dan
pemerintahan.

BACA JUGA:  Perkara Narkoba Masih Dominan di Banggai, 190 Gram Sabu dan 7.062 THD Dimusnahkan

Oleh karena pemerintah atau (government) adalah delegasi dari rakyat/publik yang juga
diamanahkan untuk mengurusi masalah rakyat/publik, maka wajib dalam membentuk pemerintah
menggunakan pola administrasi baru dengan memedomani prinsip good governance, karena masih
menurut Ndraha, governance sebagai gejala sosial tidak sekedar melibatkan pemerintah dan negara,
tetapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara sehingga pihak-pihak yang terlibat
juga sangat luas yang pastinya memerlukan proses politik bercorak partisipatif.

Governance menunjukkan adanya tatanan dan kemampuan sedangkan government menunjuk pada organ. Oleh karenanya sebagaimana telah diuraikan sebelumnya konsep government menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah) sedangkan
konsep governance tidak sekedar melibatkan pemerintah dan negara, tetapi juga peran berbagai
aktor di luar pemerintah dan negara.

Oleh karena government sebagai pelaksana governance, maka untuk pembentukan pemerintah baik
di level pusat maupun daerah, sebagiaman telah tertulis dalam konstitusi bahwa indonesia adalah
negara dengan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
Hal tersebut terlihat dengan ditetapkannya beberapa perundang-undangan yang secara substansial
merupakan regulasi untuk pembentukan pemerintah maupun organisasi pemerintahan, diantaranya
adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perppu pemilihan kepala daerah.

Kedua undang-undang tersebut selain merupakan manifest sebagai negara hukum juga merupakan landasan atau dasar hukum dan sarana dilaksanakannya kedaulatan rakyat, karena dalam peraturan tersebut kepala pemerintah baik dipusat maupun daerah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini memperkuat bahwa sebagai negara yang menganut sistem politik demokrasi, pemerintahannya ditata dengan dasar yang menurut Ranny, terdiri dari kedaulatan rakyat, kesamaan politik dan konsultasi dengan rakyat.

Selanjutnya baik pemilu maupun pilkada diselenggarakan dengan asas kejujuran, hal ini bukan
tanpa alasan, karena pada pemilu di zaman orde baru penuh dengan berbagai macam kecurangan
dan pengendalian yang terpusat oleh pihak-pihak tertentu, maka untuk memenuhi asas kejujuran
tersebut salah satunya dilakukan dengan membentuk penyelenggara pemilu yang independent
terlepas dari intervensi pihak yang memiliki otoritas kekuasaan. Penyelenggara yang independent
dan berintegritas adalah sesuatu yang wajib untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas. Hal ini
adalah teknik dari sistematika atau manajemen besar pemilihan umum atau perhelatan demokrasi
politik, yang didalamnya membutuhkan partisipasi masyarakat atau publik.

BACA JUGA:  Nantikan! Adira Expo 2024 Serba Cuan Segera Digelar di Shopping Mall Luwuk

Secara politik, partisipasi masyarakat sangat penting, karena partisipasi akan memberikan pembeda
antara kepentingan individu dan kepentingan bersama yang menurut Miriam Budiarjo partisipasi
politik merupakan pengejewantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik, karena unsur penting
dalam pelaksanaan sistem demokrasi adalah tingkat partisipasi, dimana makin tinggi tingkat
partisipasi maka makin baik pelaksanaan demokrasinya.

Disisi lain partisipasi masyarakat dalam politik adalah bentuk komunikasi politik dalam rangka menyampaikan aspirasi dengan tujuan agar aspirasi dilaksanakan bukan ditampung, dimana menurut Nimmo, partisipasi seseorang dalam politik karena terdapatnya peluang resmi, yang berarti adanya kesempatan untuk berpartisipasi berdasarkan kebijakan yang dibuat oleh negara. ini berarti keterlibatan atau partisipasi akan sangat ditentukan juga oleh pelaksanaan teknis aspirasi tersebut, sehingga aspirasi yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui kebijakannya juga mendorong dan memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik.

Karena pentingnya partisipasi politik tersebut, maka pelaksanaan pemilu sebagai salah satu wadah
untuk menyalurkan aspirasi harus dilaksanakan dengan baik sebagaimana konsep good governance
dengan indikatornya jujur dan tertib, disampin beberapa indikator lainnya.
Sikap jujur menurut Ibn Qoyim merupakan keselarasan atau keserasian antara perkataan, hati nurani
dan kenyataan, sedangkan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia jujur adalah tulus hati, tidak
curang dan tidak berbohong, hal ini berarti jujur adalah tindakan sesuai dengan aturan yang dibuat
dan disepakati. Kejujuran juga adalah bagian dari norma dan moral seseorang, yang pada
praktiknya memberikan pengaruh baik secara individu maupun secara institusi, maka wajib bagi
setiap orang maupun kelompok untuk menjunjung tinggi sikap kejujuran.

Dalam konteks pelaksanaan pemilu, sikap jujur wajib bagi penyelenggara pemilu yang diartikan dengan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kesesuaian antara tindakan dengan peraturan yang ada dalam konsep good governance berhubungan dengan kinerja yang sistematis dan rapi atau diistilahkan dengan tertib administrasi, dimana taat regulasi maupun tertib administrasi akan memproteksi kita dari segala hal yang dapat merugikan baik secara individu maupun kelompok.
Tertib administrasi dalam penyelenggaraan pemilu dapat diambil contoh pada penyelenggaraan pemilu tingkat kecamatan yang dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Tugas dan kewajiban PPK yakni malaksanakan tahapan pemilu sebagaimana ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota, menerima dan menyampaikan daftar pemilih, melakukan pemutakhiran data pemilih dengan urutan penetapan daftar pemilih sementara (DPS) yang kemudian difinalkan dengan daftar pemilih tetap (DPT), melakukan verifikasi dukungan calon perseorangan, melakukan rekapitulasi dan mengumumkan hasil rekapitulasi,
membuat berita acara dan sertifikat perhitungan suara dan menyerahkannya pada KPU serta pihak
terkait lainnya, melakukan sosialisasi penyelenggaraan pemilu, melakukan evaluasi serta menyusun
laporan atas pelaksanaan tugas, selain itu PPK juga berkewajiban melaksanakan tugas lain sesuai
instruksi KPU dan peraturan yang terkait.

BACA JUGA:  Rakorwasda Sulteng, Momentum Optimalisasi Peran APIP Cegah Korupsi

Rangkaian pekerjaan tersebut wajib dilakukan dengan jujur atau tanpa kecurangan serta tertib atau sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan, sebagaimana terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Ekspektasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik akan sangat tergantung bukan hanya pada kesadaran politik masyarakat namun juga penyelenggaraan yang baik, dimana apabila dikatakan pemilu dan demokrasi adalah kewajiban pemerintah untuk melaksanakannya, maka masyarakat selaku publik wajib mendapatkan layanan tersebut dengan indikator layanan yang baik dimana salah satunya dilaksanakan dengan sederhana dengan indikasinya mudah, lancar, cepat, tepat dan tidak berbelit-belit.

Tahapan pemilu yang begitu kompleks sekiranya bukan halangan bagi terciptanya demokrasi sebenarnya yakni dengan kesepakatan dan kedaulatan rakyat. Kinerja tugas yang dilaksanakan dengan memudahkan masyarakat sudah sangat jelas diatur dalam peraturan organik oleh KPU sebagaimana mekanisme pemilu yang didekatkan dengan masyarakat melalui peran PPK, dimana PPK selaku perpanjangan tangan dari KPU sebagaimana diuraikan sebelumnya juga memiliki tugas menyosialisasikan dan mengkoordinir pemungutan suara yang sebelumnya melakukan pendataan dan penetapan pemilih adalah upaya pelayanan maksimal agar tidak terdapat masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya yang pada akhirnya menggugurkan kedaulatan, hal ini ditunjukan dengan adanya mekanisme mengakomodir daftar pemilih tambahan serta pelaksanaan pemilihan suara ulang, tahapan pelaksanaan yang menunjukan dilakukannya pelayanan yang baik, dimana hal tersebut merupakan kewajiban dan tugas dari KPU dan PPK.

Sistem ini secara tidak langsung telah mengadopsi konsep maupun prinsip good governance, maka baiknya dijalankan dan dilaksanakana oleh penyelenggara pemilu.

Tahapan-tahapan pemilu yang diselenggarakan dengan pendekatan layanan seperti ini, seharusnya menjadi patokan bersama para penyelenggara agar semangat good governance dalam pemilu dapat dilaksanakan, minimal para penyelenggara yang bekerja dengan jujur dan tertib sebagaimana konsep good governance yang ditawarkan oleh World Bank. (*)

Pos terkait