Demokrasi: Sistem Ramah Koruptor?

Oleh: Fitriawati Ahsan
(Aktivis Sahabat Hijrah Luwuk)

Sebanyak 23 koruptor kini dibebaskan bersyarat. Hal ini sejalan dengan diterapkannya aturan Remisi Koruptor yang termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022.

Dalam Pasal 1 aturan tersebut dijelaskan pengertian remisi adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak yang memenuhi syarat dan ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan.

Bahkan diketahui sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor.

Buntut dari dibatalkannya PP Nomor 9 Tahun 2012 ini oleh Mahkamah Agung, adalah diterapkannya aturan baru tersebut tentang Remisi Koruptor.
Salah satu koruptor mantan Jaksa, Pinangki Sirna Malasari saja yang baru dua tahun dipenjara kini telah bebas bersyarat, padahal kasus korupsi yang melibatkannya tergolong besar. (dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-6278717/remisi-koruptor-jadi-sorotan-seperti-apa-aturannya)

Adanya aturan tersebut tentu saja sangat melukai hati rakyat. Padahal kita semua tahu bahwa korupsi adalah kejahatan yang sangat besar. Jikalau kejahatan sebesar ini dianggap sebagai kejahatan biasa saja, maka tidak heran kalau budaya korupsi tumbuh subur di Negara kita.

BACA JUGA:  Sahabat Herwin Yatim Diskusikan Ide dan Gagasan di Pilkada Banggai

Bahkan tidak ada aturan khusus yang melarang bagi para pelaku korupsi ini untuk kembali mencalonkan diri menjadi Caleg, dalam artian hak mereka mencalonkan diri tidak dicabut. Sungguh sangat di luar logika. Seharusnya, kejahatan sebesar ini bisa mendapatkan hukuman yang memberikan efek jera bagi pelakunya, bukan terkesan memberikan mereka kemudahan.

Hal ini semakin memperlihatkan bahwa Demokrasi hanyalah sistem yang ramah akan para koruptor. Sehingga hukum yang ada tidak lagi menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi.

Beginilah jika sistem Sekuler-Kapitalis yang diterapkan, adanya pemisahan antara agama dan kehidupan membuat manusia tidak lagi merasa terikat dengan aturan Allah di kehidupan umum. Agama hanya sebatas spiritual dalam ranah pribadi, sehingga ketika di ranah publik mereka menerapkan aturan sesuai kehendaknya.

Sedangkan pemahaman tentang Materi sebagai sumber kebahagiaan, turut menjadikan banyak individu tidak takut melakukan apapun demi terpenuhinya kepuasan materi.

BACA JUGA:  Perkara Narkoba Masih Dominan di Banggai, 190 Gram Sabu dan 7.062 THD Dimusnahkan

Hal ini sangatlah berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, sumber kebahagiaan yang hakiki adalah mendapatkan Ridho Allah, materi hanya sebagai alat atau sarana untuk dapat meraih ridho Allah, bukan sebagai tujuan dalam kehidupan.

Sehingga kesadaran akan keterikatan dengan hukum-hukum Allah dalam berbagai aspek kehidupan inilah yang akan menjadikan para pejabat dan pemimpin Negara senantiasa bersikap wara’ dan menjaga diri dari harta yang haram.

Sanksi yang dibuat dalam sistem Islam juga akan memungkinkan bagi pelakunya merasakan efek jera. Seperti pemberitahuan di hadapan publik, stigma sosial, pengasingan, hingga hukuman mati tergantung besaran korupsi yang dilakukan.  Sehingga sebisa mungkin membuat efek jera yang tidak hanya dirasakan pada pelaku, melainkan juga pada masyarakat secara luas, agar kejadian seperti itu tidak lagi terulang.

Dalam Islam para pejabat dan pemimpin Negara hanyalah sebagai pelaksana hukum syara’, mereka tidak mendapatkan upah atau gaji seperti saat ini, melainkan diganti dengan santunan oleh Negara. Karena mereka nantinya akan disibukkan oleh urusan umat, jadi kebutuhan hidup yang bersifat pribadi seperti nafkah dan sebagainya akan diberikan oleh negara secukupnya sesuai dengan kebutuhan.

BACA JUGA:  Kejari Banggai Musnahkan Barang Bukti 21 Perkara Inkracht

Harta kekayaan mereka juga akan dihitung sebelum dan sesudah mereka menjabat, jika ada pertambahan nilai harta makan akan diselidiki asal bertambahnya harta tersebut. Sehingga sangat meminimalisir terjadinya korupsi dan sebagainya.

Tentu saja hal ini baru akan tercipta jika Negara mau mnerapkan sistem Islam yang mampu mengatasi problematika saat ini. Karena Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan diri sendiri dan juga dengan manusia lainnya. Dengan aturannya yang baku, Islam tidak akan terpengaruh oleh waktu dan tempat, sekalipun zaman terus menerus berubah, aturan Islam tidak akan pernah berubah. (*)

Pos terkait