Usia Ke-77 Tahun, Ini Sejarah Singkat Persatuan Guru Republik Indonesia

BANGGAI RAYA- Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 25 November 2022, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-77 dan Hari Guru Nasional (HGN) Tahun 2022. Tidak terkecuali dengan PGRI Kabupaten Banggai yang melaksanakan Upacara Bendera di Alun-Alun Bumi Mutiara Luwuk, pada tanggal 28 November 2022.

Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Nomor 928/Um/PB/XXII/2022, tertanggal 9 November 2022, tentang Pengantar Sambutan Ketua Umum PB PGRI dan Sejarah Singkat PGRI pada HUT Ke-77 PGRI dan HGN Tahun 2022.

Bacaan Lainnya

Surat ditujukan kepada Ketua PGRI Provinsi, Daerah Istimewa, Ketua PGRI Kabupaten/Kota, Pimpinan APKS PGRI Provinsi, Kabupaten/Kota, Pimpinan Pusat IGTKI PGRI dan Ketua Badan Penyelenggaraan dan Pimpinan Lembaga Pendidikan PGRI se Indonesia.

Sekretaris PGRI Kabupaten Banggai, Nurdin Basyerewan menceritakan, sejarah singkat PGRI tentang Historia Magistra Vitae atau Sejarah adalah Guru Kehidupan. Cikal bakal PGRI berawal dari semangat perjuangan para guru pribumi di zaman Belanda pada tahun 1912 dengan membentuk organisasi bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).

Menurut Kepala SMPN 1 Luwuk Timur ini, organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para guru, guru desa, kepala sekolah dan penilik sekolah. Dengan latar pendidikan yang berbeda-beda, mereka umumnya bertugas di sekolah desa dan sekolah rakyat angka dua.

“Tidak mudah bagi PGHB memperjuangkan nasib para anggotanya yang memiliki pangkat, status sosial dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Sejalan dengan keadaan itu, disamping PGHB berkembang pula organisasi guru baru, antara lain Persatuan Guru Bantu, Perserikatan Guru Desa, Persatuan Guru Ambachtsschool, Perserikatan Normaalschool, Hogere KweeKschool Bond, disamping organisasi guru bercorak keagamaan dan kebangsaan lainnya,” kata Nurdin Basyerewan kepada Banggai Raya, Minggu (4/12/2022).

Lebih lanjut, Ia menjelaskan, pada tahun 1932 nama PGHB diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan Bangsa Indonesia.

Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas. Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta.

“Melalui kongres ini segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah politik,agama dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan guru yang aktif berjuang dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk, mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.

Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945, seratus hari, setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan dengan tiga tujuan, yaitu 1, mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia. 2, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan. 3, membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.

Sejak kongres guru Indonesia itu, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah PGRI. Di era revolusi kemerdekaan, PGRI bekerja ditengah-tengah ayunan gelombang revolusi, bercita-cita tinggi, luhur suci murni,membangun bangsa melalui pendidikan dan pangajaran. Para guru berjuang dan membangun segalanya yang runtuh, remuk redam, retak pada semua lapangan, terutama pada lapangan pengajaran dan pendidikan.

“Kelahiran PGRI sebagai tuntutan sejarah melalui progres yang panjang dan lahir, tepat saat rakyat Indonesia berjuang menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan, sumbangsih kaum guru tertulis dalam sejarah turut mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Karena itu, “ Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jas Merah),” tuturnya.

Periode tahun 1962-1965 kata dia, merupakan masa kelam dengan timbulnya ketegangan dan perpecahan akibat penyusupan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. PGRI sesuai jati dirinya sebagai organisasi perjuangan tetap teguh mempertahankan Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan negara.

Dalam suasana politik di era orde baru, PGRI menjadi pilar penting pendidikan nasional dan terus bertahan serta berperan dalam proses perjalanan bangsa, melalui pengabdian di bidang pendidikan. Eksistensi dan legalitas PGRI secara konstitusional masa itu, tidak lepas dari kejelian strategi pengurus dan kesolidan para anggota PGRI aktif membangun jejaring dengan organisasi guru internasional.

“Pada tahun 1978, PGRI mengharumkan nama Indonesia dengan sukses menjadi tuan rumah Kongres Organisasi Guru Dunia (WCOTP). Di era reformasi hingga saat ini, PGRI terus melakukan transformasi Kultural dan Structural. PGRI terus tumbuh berkembang dan banyak melakukan perubahan secara internal, agar adaptif terhadap perkembangan zaman yang terus berubah,” katanya.

Pengurus dan anggota PGRI di semua tingkatan adaptif merespon segala perubahan dengan saling belajar dan berbagi melalui perangkat kelembagaan PGRI, seperti Lembaga Kajian Kebijakan Pendidikan, Asosiasi Profesi dan Keaahlian Sejenis (APKS), PGRI Smart Learning and Character Center (PSLCC), Perempuan PGRI, IGTKI PGRI dan Lembaga Pendidikan PGRI.

Perjuangan PGRI dalam mengusahakan 20 persen dari APBN/APBD untuk pendidikan menjadi catatan sejarah penting, bahwa PGRI terus memberikan banyak manfaat bagi peningkatan kesejahteraan para guru dan peningkatan mutu pendidikan. PGRI turut membidani lahirnya UU Nomor 14 tahun 2005 yang berimplikasi adanya tunjangan profesi guru (TPG) yang dinimati para guru yang tersertifikasi hingga saat ini. PGRI memberikan masukan kepada pemerintah agar RUU Sisdiknas yang sedang disusun tetap mempertahankan aturan jelas dan tegas mengenai TPG.

“Selain itu, PGRI terus berkomitmen dalam memperjuangkan nasib para guru dan tenaga kependidikan honorer di bawah Kemendikbudristek dan Kemenag bagi mereka yang berusia di atas 35 tahun, agar diberikan kesempatan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hal ini telah direspon dengan sangat baik oleh pemerintah dengan membuka penerimaan ASN PPPK di tahun 2021 dan 2022, sehingga memberikan peluang dan kesempatan yang baik bagi para guru honorer untuk mengikutinya. Meskipun dalam sitem pelaksanaanya masih memerlukan perbaikan secara terus menerus,” harapnya.

Di masa mendatang kata Nurdin, PGRI mendorong pemerintah agar terus memberikan kesempatan para calon guru untuk menjadi PNS melalui pembukaan kembali formasi jalur ASN CPNS, agar guru menjadi profesi yang diidam-idamkan oleh anak muda terdidik yang memiliki prestasi terbaik di bidang akademik, bertalenta, berkepribadian baik dan menjadi teladan.

“PGRI berafiliasi dengan ASEAN Council of Teachers+1 yang beranggotakan organisasi guru se ASEAN plus Korea Selatan. Juga tergabung dalam Education International (EI), sebuah organisasi guru dunia yang terdiri dari 172 negara. Berbagai hal tersebut diatas menjadikan PGRI diusianya yang ke-77, menjadi lebih berdaya dan digdaya di dalam negeri maupun dunia internasional,” pungkasnya. RUM

Pos terkait