Tindak Pidana Yang Dilakukan Narapidana Yang Memperoleh Asimilasi dan Integrasi

OLEH: Chrisvanly G. Baradi (Alumni Fakultas Hukum Unika De La Salle Manado dan baru saja menyelesaikan Studi S2 di Magister Hukum Litigasi UGM)

Baru-baru ini banyak dihebohkan dengan berita mengenai narapidana yang kembali melakukan tindak pidana setelah sebelumnya mendapat asimilasi dan integrasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, saat ini sebanyak 3.800-an narapidana dan anak yang telah mendapat asimilasi dan integrasi. Dari 38.000-an narapidana dan anak yang dilepaskan, per 26 April 2020 ada sekitar 39 narapidana yang melakukan kembali tindak pidana di saat wabah covid-19.

Beberapa kasus tersebut di antaranya ialah kekerasan yang dilakukan oleh begal di Tanjung Priok, pembobolan minimarket di Duren Sawit, penjambretan di Surabaya, narkotika di Semarang, pencurian kendaraan bermotor di Kaltim, dan sebagainya. Fakta-fakta ini bukanlah berita baik bagi kita walaupun secara kuantitatif mungkin tidak sampai satu persen dari narapidana yang mendapat asimilasi dan integrasi. Tetapi secara kualitatif penulis menilai bahwa penegakkan hukum di Indonesia masih lemah khususnya pada aspek pembinaan dan pengawasan dalam pemasyarakatan. Secara lex spesialis, pemberian asimilasi dan integrasi diatur dalam Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Pada intinya, pertimbangan diterbitkannya Permenkumham tersebut adalah untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap narapidana dan anak yang berada di Lapas, LPKA, dan Rutan dari penyebaran dan penularan covid-19.

Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan asimilasi dan integrasi? Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak dalam kehidupan masyarakat.

Sementara, integrasi adalah proses pembimbingan narapidana dan anak yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan Bapas. Permenkumham tersebut mengintegrasikan cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas dilakukan terhadap narapidana yang telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan, berkelakuan baik, dan mengikuti serta menerima program kegiatan pembinaan narapidana. Cuti bersyarat dilakukan kepada narapidana yang telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3, dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit 6 bulan, berkelakuan baik, dan mengikuti serta menerima program kegiatan pembinaan narapidana.

Pertanyaannya kemudian siapa yang bertanggung jawab terhadap narapidana yang memperoleh asimilasi dan integrasi?

Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Ayat (1) Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 menyebutkan secara tegas bahwa asimilasi narapidana dan anak dilaksanakan di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan Bapas. Sementara Pasal 19 Permenkumham tersebut menyebutkan bahwa Kepala Bapas bertanggung jawab terhadap pembimbingan dan pengawasan terhadap narapidana dan anak yang sedang menjalani pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat. Berdasarkan ketiga pasal tersebut, maka disebutkan secara jelas bahwa lembaga yang bertanggung jawab melakukan pembimbingan dan pengawasan dalam hal ini adalah Bapas. 

BACA JUGA:  Bupati Banggai Hadiri Rakornas Penanggulangan Bencana PB 2024

Pertanyaannya selanjutnya mengapa narapidana yang baru saja memperoleh asimilasi dan integrasi di bawah pengawasan Bapas kembali melakukan tindak pidana?

Penulis mengutip penjelasan dari Sosiolog UNS, Drajat Tri Kartono yang menyebutkan ada empat kemungkinan eks narapidana kembali berulah, yakni: hukuman yang diberikan tidak membuat narapidana jera, tidak adanya persiapan untuk bertahan hidup di luar, tidak mempunyai pekerjaan dan tabungan, dan sifat atau bawaan yang telah melekat baik secara sosial maupun individu.

Kemudian Wahyu Darmasya dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi seorang narapidana kembali melakukan tindak pidana, yaitu: Pertama, stigmatisasi masyarakat yang secara tidak langsung berdampak pada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat. Kedua, dampak prisonisasi yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku dalam budaya penjara.

Berdasarkan beberapa faktor di atas, maka narapidana dimungkinkan dapat kembali melakukan tindak pidana dalam lingkungan masyarakatnya, tidak terkecuali narapidana umum yang baru saja mendapat asimilasi dan integrasi karena penyebaran covid-19.

Oleh sebab itu, bagaimana upaya untuk mencegah narapidana yang memperoleh asimilasi dan integrasi tidak kembali melakukan tindak pidana di masa yang akan datang?

Perbaikan sistem pemasyarakatan

Alasan narapidana yang memperoleh asimilasi dan integrasi kembali melakukan tindak pidana ialah hukuman yang diberikan tidak membuat narapidana jera dan dampak prisonisasi. Kedua alasan tersebut sangat berkaitan erat dengan sistem pembinaan dan pengawasan dalam pemasyarakatan yang masih belum efektif.

Ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan agar pembinaan dan pengawasan terhadap narapidana berjalan lebih efektif, yaitu hukuman non penjara, pembentukan Lapas khusus, dan penataan SDM yang profesional. 

Pertama, konsep hukuman non penjara sebenarnya telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti KUHP yang mengatur pidana denda dan pidana bersyarat, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA yang mengatur pidana peringatan, pidana pelatihan kerja, pidana pembinaan dalam lembaga, pidana bersyarat (pembinaan di luar lembaga, pengawasan, dan pelayanan masyarakat), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur rehabilitasi, dan peraturan perundang-undangan lainnya di luar KUHP. 

Konsep hukuman non penjara juga diadopsi di dalam pidana pokok RKUHP, misalnya pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Dalam Penjelasan Umum RKUHP dikatakan bahwa ketiga jenis pidana pokok tersebut perlu dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim, sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana itu terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.

Hakim dapat memilih jenis pidana yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis pidana pokok walaupun dalam Buku Kedua RKUHP hanya dirumuskan tiga jenis pidana, yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati.Artinya, hukuman non penjara merupakan alternatif dari pidana penjara di masa mendatang dan diberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi alternatif kepada terdakwa yang berorientasi pada tujuan pemidanaan, sehingga narapidana yang melakukan tindak pidana tidak melulu dipenjarakan dalam Rutan dan/atau Lapas.

BACA JUGA:  Bupati Banggai Hadiri Peringatan Hari Otonomi Daerah Tahun 2024 di Surabaya

Tentunya para penegak hukum seperti penyidik, penuntut umum, dan hakim harus selektif dalam menjalankan fungsinya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Hukuman non penjara juga perlu diterapkan secara kasuistik, misalnya penyalahgunaan narkotika tidak semua harus berakhir di Lapas karena dikhawatirkan kejahatan narkotika dapat dilakukan dalam Lapas dan sebagainya.

Melihat kondisi bahwa narapidana yang memperoleh asimilasi dan integrasi kembali melakukan tindak pidana menunjukkan adanya ketidakberhasilan pembinaan dan pengawasan oleh Lapas/Bapas.Oleh sebab itu, sudah saatnya hukuman non penjara harus dikedepankan di dalam sistem peradilan pidana di masa yang akan datang. 

Kedua, di Indonesia terdapat penggolongan lembaga pemasyarakatan, yaitu Lapas umum dan Lapas khusus, seperti Lapas Perempuan, Lapas Anak, Lapas Narkotika dan Lapas untuk tindak pidana berat seperti yang ada di Nusakambangan, Cilacap. Namun, tidak di semua daerah di Indonesia mempunyai Lapas-Lapas khusus. Contohnya, narapidana kasus narkotika tidak seluruhnya tertampung dalam Lapas Narkotika. Sebagian besar tersebar di berbagai Lapas umum dan Rutan di Indonesia. Berkaitan dengan masih kurangnya Lapas khusus, maka perlu dibentuk Lapas khusus minimal di daerah kabupaten/kota yang narapidananya masih tergabung dalam Lapas umum, sehingga perilaku jahat dari narapidana khusus tidak terkontaminasi dengan kejahatan umum lainnya serta tidak membuat narapidana menjadi lebih buruk.Ketiga, perlu penataan SDM yang profesional dalam melakukan pembinaan dan pengawasan narapidana seperti petugas Lapas dan Bapas.

Dalam menjalankan fungsinya, para petugas Lapas/Bapas harus bersih dan bebas dari KKN serta benar-benar sesuai dengan prosedur yang lebih mengedepankan rehabilitasi, reintegrasi, dan restoratif. Oleh karena itu, tidak terjadi lagi kasus-kasus yang melibatkan petugas Lapas, seperti penyuapan, penyalahgunaan narkotika, dan lain sebagainya. Selain itu, narapidana yang mendapatkan asimilasi dan integrasi tidak mengulangi perbuatannya di masyarakat. 

Mengoptimalkan pidana kerja sosial dan pelatihan kerja

Alasan lain narapidana yang memperoleh asimilasi dan integrasi kembali melakukan tindak pidana seperti yang dikemukakan sebelumnya ialah tidak adanya persiapan untuk bertahan hidup di luar dan tidak mempunyai pekerjaan dan tabungan.

Kedua alasan ini sangat berhubungan dengan faktor ekonomi sehingga membuat narapidana tersebut dapat melakukan kembali perbuatannya di masyarakat. Contohnya, kasus pencurian di Solo yang dilakukan oleh narapidana yang memperoleh asimilasi karena alasan ekonomi. Dalam Pasal 65 Ayat (1) RKUHP diitrodusir pidana kerja sosial sebagai salah satu jenis pidana pokok. Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun.

Pidana tersebut dijatuhkan kepada terdakwa dengan mempertimbangkan pengakuan terdawa terhadap tindak pidana yang dilakukan, kemampuan kerja terdakwa, persetujuan terdakwa, riwayat sosial terdakwa, pelindungan keselamatan kerja terdakwa, keyakinan agama dan politik terdakwa, dan kemampuan terdakwa membayar pidana denda. Pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) Hari dan dapat diangsur dalam waktu paling lama 6 (enam) Bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat. Pengawasan terhadap pelaksanaan pidana kerja sosial dilakukan oleh jaksa dan pembimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. 

BACA JUGA:  Bupati Banggai Hadiri Rakornas Penanggulangan Bencana PB 2024

Sementara dalam Pasal 103 Ayat (1) RKUHP mengatur pula tentang tindakan yang dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok, salah satunya adalah pelatihan kerja. Maksud dari pelatihan kerja ialah untuk memberikan keterampilan kepada terpidana yang diberikan tindakan untuk mempersiapkannya kembali ke masyarakat dan memasuki lapangan kerja. Tentunya dalam dalam mengenakan tindakan pelatihan kerja, hakim wajib mempertimbangkan kemanfaatan bagi terdakwa, kemampuan terdakwa, dan jenis pelatihan kerja.

Penulis menambahkan bahwa selain pidana kerja sosial dan tindakan pelatihan kerja, negara perlu menjamin hak memperoleh pekerjaan dari eks narapidana sama halnya dengan sesama warga negara lainnya. Hal tersebut merupakan perwujudan dari Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.

Hal ini sangatlah penting karena pada kenyataannya narapidana yang telah berbaur dengan masyarakat kesulitan untuk memperoleh pekerjaan seperti orang pada umumnya. Hal tersebut tidak terlepas dari stigma masyarakat dan pekerjaan yang salah satunya mensyaratkan berkelakuan baik dan tidak pernah dipidana. 

Perlu mengubah mindset masyarakat

Stigmatisasi masyarakat secara tidak langsung berdampak pada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat sehingga narapidana dapat kembali melakukan perbuatannya.

Perlu masyarakat ketahui tentang filsafat yang kita anut dalam hukum pidana Indonesia bahwa pidana itu bukan suatu tujuan, melainkan pidana merupakan alat untuk mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud ialah Social Welfare atau perlindungan/pembinaan individu dan Social Defence atau perlindungan masyarakat untuk kepentingan umum. Masalahnya, stigmatisasi masyarakat pada umumnya masih menggunakan cara berpikir yang lama atau pidana pembalasan. Justru dengan model-model seperti asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat bertujuan untuk melindungi/membina individu.

Apabila terjadi pelanggaran atau penyimpangan terhadap model-model tersebut, maka ada mekanisme kontrol dari institusi terkait seperti kepolisian, Bapas, Pemda setempat, dan sebagainya. Bahkan, asimilasi dan integrasi dari narapidana dapat dicabut oleh Kemenkumham dalam hal ini Ditjen Pemasyarakatan. Makanya, perlu adanya kerjasama antara Bapas dengan institusi-institusi yang ada demi mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

Oleh sebab itu, mindset masyarakat terhadap pemidanaan tidak lagi berdasarkan pembalasan, melainkan perlu diubah ke arah rehabilitasi, reintegrasi, dan restoratif. 

“Nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur”(Seorang bijak tidak menghukum karena melakukan dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa). ***