Tausiyah Ramadan: Walaupun Nila Sebelanga

H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA

Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA
(Founder Alquran Institute Banggai)

MUNGKIN pernah terlintas di benak Anda sebuah pertanyaan. Apakah manusia diciptakan memiliki karakter baik? Atau justru memiliki karakter buruk? Kalau manusia diciptakan untuk menjadi baik, sangat tidak wajar bila muncul maksiat. Namun kalau sebaliknya, maka dosa yang dilakukan masuk dalam kategori kewajaran seorang manusia.

Alquran memang telah memberikan jawaban pamungkas dari pertanyaan di atas. Dalam surat As-Syams ayat 7-10, Allah Swt. berfirman, “Demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepada jiwa jalan kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugi orang yang mengotorinya.” Ayat ini memberikan porsi yang sama bagi manusia sejak awal penciptaan. Apakah memilih kebaikan atau keburukan.

Faktanya, manusia justru lebih banyak memunculkan karakter buruk. Bahkan dosa dapat dikatakan sangat inhern dengan manusia. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah Saw. pernah mengulas fakta ini. Rasulullah Saw. bersabda, “Kalau seandainya kamu tidak pernah melakukan dosa, maka Allah akan melenyapkan kamu. Lalu mengganti dengan makhluk lain yang pernah melakukan dosa, kemudian Allah mengampuni mereka.”

Rasul Saw. menggarisbawahi, bahwa letak utama masalah, bukan fakta keburukan yang lebih banyak muncul dari manusia. Tapi sikap atas keburukan itu. Sebab manusia tidak pernah terlepas dari dosa dan kesalahan. Bahkan sekelas seorang Nabi yang mendapatkan predikat Ulul Azmi.

Imam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukil oleh muridnya, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam buku ‘Tahdzib Madârij As-Sâlikîn’ pernah bercerita tentang keburukan Nabi Musa as. “Coba lihat Nabi Musa” kata Ibnu Taimiyah! “Baru saja menerima wahyu dari Allah yang termaktub dalam sebuah lempengan, ia justru membuang dan memecahkan lempengan suci itu, karena murka melihat kemaksiatan umatnya. Ia lalu menjambak jenggot seorang nabi mulia yang dipilih Allah untuk membawa risalah bersamanya. Malaikat maut juga pernah ditampar Musa sehingga matanya copot. Nabi Muhammad Saw. juga pernah diajar Musa as. agar tidak patuh kepada Allah pada malam Mi’raj” lanjut Ibnu Taimiyah.

Bukan hanya itu keburukan Nabi Musa as.. Ia juga dicatat Alquran pernah membunuh seorang warga Mesir di masa mudanya. Tapi Allah Yang Maha Penyayang tetap memuliakan Musa as. sebagai utusanNya. Allah juga memberikan predikat Ulul Azmi kepadanya. Pada saat Mi’raj, Allah Swt. bahkan memposisikan Musa as. dilangit keenam melebihi nabi-nabi yang lain. Titah untuk membelah lautan juga langsung diturunkan Allah Swt. ketika Musa as. dan Bani Israil telah terjepit karena dikejar Firaun dan bala tentaranya.

BACA JUGA:  Anggota DPRD Banggai Sebut Luwuk so Kotor

Nabi Musa as. juga manusia. Ia pernah melakukan dosa yang tidak bisa dikatakan sebagai dosa kecil. Tapi sikap atas dosa yang membuatnya unggul. Kata Ibnu Taimiyah, Allah Swt. tidak menggubris semua keburukan Musa as. karena ia telah melakukan amal-amal mulia. Ia patuh dan membawa perintah risalah untuk menghadapi Firaun yang mengaku Tuhan. Musa as. juga mengubah perilaku Bani Israil menjadi umat yang taat. Sehingga dosa yang dilakukannya hanya seperti sehelai rambut yang diarungkan di lautan.

Seperti Nabi Musa as., latar belakang para sahabat Rasulullah Saw. juga tidak luput dari dosa. Tidak bersih dari maksiat. Bahkan mereka hidup sebelumnya dalam suasana jahiliyah yang menghalalkan segala cara. Contohnya Umar bin Khattab ra., yang pernah mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Atau Abu Dzar Al-Ghifari ra., yang sebelumnya adalah perampok dan hidup dengan para perampok yang sangat kejam dalam satu kampung. Atau Hindun Binti Utbah ra., istri Abu Sufyan ra. yang pernah mengoleksi telinga dan hidung para sahabat menjadi gelang kaki dan kalung. Ia juga pernah merobek perut Hamzah ra., paman Rasulullah Saw., untuk mengambil hatinya dan langsung memakannya. Atau Khalid bin Walid ra., yang menjadi salah satu sebab syahidnya 70 sahabat di medan Uhud.

Namun seluruh dosa itu sirna. Semua maksiat itu pupus. Segala bentuk kejahatan itu tak lagi berbekas. Allah Swt. tidak fokus terhadap latar belakang. Tidak menggubris masa lalu. Tidak lagi menguak luka lama. Yang ada justru Allah membentangkan RidhaNya, menumpahkan RahmatNya, tatkala mereka mau menerima Islam, tatkala mereka mensanubarikan iman, tatkala mereka mengejawantahkan Ihsan. Lalu menjadi manusia yang hijrah kepada Allah. Cinta kepada Rasulullah. Menjadi Muhajirin dan Anshar.

BACA JUGA:  Senin Kemarin, Satuan Pendidikan di Banggai Mulai Laksanakan KBM

Allah Swt. berfirman dalam surat At-Taubah ayat 100, “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.”  

Sebagaimana Allah Swt. menyayangi Musa as. setelah sebelumnya berbuat dosa. Sebagaimana Allah Swt. memberikan ridhaNya kepada para sahabat setelah sebelumnya melaksanakan maksiat. Allah juga tetap menyayangi kita sebagai manusia yang mungkin masih melakukan dosa.

Bahkan bila dosa tidak dapat terhitung lagi, masih bisa dirubah menjadi rahmat dengan seketika. Dalam surat Al-Furqan ayat 70 Allah berfirman, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatan mereka diganti dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Imam Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengutip pendapatnya Sa’id bin Musayyib. Menurut Sa’id bila seseorang melakukan taubat di dunia, maka semua catatan dosa yang pernah dilakukannya di akhirat nanti berubah menjadi catatan amal kebaikan. Jutaan dosa yang pernah tercatat dalam lebaran malaikat, seketika berubah menjadi jutaan taat di sisi Allah dengan tobat.

Walaupun dosa itu setinggi langit. Walaupun maksiat itu sedalam lautan. Walaupun kejahatan itu sepenuh bumi, terbentang dari timur sampai barat, tersebar dari utara sampai selatan. Walaupun mungkin timbul perasaan, tidak ada lagi pintu yang terbuka untuk kembali, Allah Swt masih membuka lebar-lebar pintu rahmatNya. Dari sahabat Anas bin Malik ra., “Aku pernah mendengar firman Allah yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, “Wahai anak Adam, ketika engkau berdoa dan berharap kepadaKu, niscaya Aku telah mengampuni apa yang engkau lakukan dan Aku tidak peduli lagi dengan apa yang telah engkau lakukan. Wahai anak Adam, kalau seandainya dosamu menumpuk setinggi langit, kemudian engkau meminta ampun kepadaKu. Niscaya aku telah mengampunimu dan tidak peduli dengan perbuatanmu. Wahai anak Adam, kalau engkau membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian datang kepadaKu dalam keadaan tidak syirik. Maka Aku akan langsung mendatangimu sambil membawa ampunan sepenuh bumi” (HR. Tirmidzi). 

BACA JUGA:  Anti Murad Temui Prabowo, Kode Keras Dukungan Penuh Presiden Terpilih

Karena surat Al-Furqan ayat 70 di atas, Rasulullah Saw. pernah menegur sahabat Abu Hurairah ra. dan menganggapnya sebagai seorang yang akan celaka dan akan mencelakakan orang lain karena merasa bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa yang sangat besar. Disebutkan dalam kitab ‘At-Tawwâbîn’ karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy bahwa Abu Hurarah ra. pernah berjalan setelah melaksanakan salat Isya bersama Rasulullah Saw. di masjid Nabawi. Di tengah perjalanan, ia ketemu dengan seorang wanita bercadar yang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hurairah, aku telah melakukan dosa besar. Apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bertaubat?” Abu Hurairah ra. balik bertanya, “Dosa apa yang telah engkau lakukan”? “Aku telah berzina dan aku membunuh anak hasil perzinahanku itu,” jawab sang wanita.

Abu Hurairah ra. lantas berfatwa, “Engkau telah binasa, dan engkau juga telah membinasanakan orang lain. Demi Allah! Pintu taubat tidak lagi terbuka bagimu!. Wanita itu lalu menjerit sekuat-kuatnya dan jatuh pingsan. Setelah siuman ia kemudian pergi. Abu Hurairah ra. lalu menegur dirinya, “Bagaimana aku bisa memberikan fatwa sementara Rasulullah Saw. masih hidup?” Maka selesai salat Subuh di keesokan harinya, Abu Hurairah ra. menceritakan tentang wanita bercadar dan fatwanya kepada Rasulullah Saw.

Terbalik, Rasulullah Saw. bukan membenarkan Abu Hurairah ra. tapi malah menegurnya dengan keras. “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râjiun, engkaulah yang justru celaka dan engkau telah mencelakakan orang lain. Tidakkah engkau ingat ayat ini?” Rasulullah lalu membacakan surat Al-Furqan ayat 70 kepada Abu Hurairah ra.

Mendengar ayat tersebut, Abu Hurairah ra. segera bangkit dari majelis Rasulullah Saw. dan berlari menyusuri jalan-jalan di kota Madinah sambil mencari wanita bercadar. Anak-anak yang melihat Abu Hurairah ra. mengira ia sudah gila karena sibuk bertanya kesana kemari. Nanti larut malam, ia akhirnya ketemu dengan wanita bercadar. Ia lantas menyampaikan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw.. Wanita itu spontan menjerit kegirangan sambil berkata, “Sesungguhnya aku memiliki kebun yang akan aku sedekahkan kepada orang miskin karena dosaku.”  

Keutamaan tobat dalam ayat ini meniadakan pepatah lama yang sering diajarkan kepada kita, “Nila setitik merusak susu sebelanga”. Sebab Allah Yang Maha Menerima Tobat selalu mengajarkan kita , walaupun nila telah terkumpul dalam satu belanga, ia tetap bisa menjadi susu yang masih murni dengan tobat.

Karena itu, Allah Swt. memerintahkan kepada Rasulullah Saw, “Katakanlah olehmu Muhammad, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Az-Zumar ayat 53). ***

Pos terkait