Tausiyah Ramadan: Diskursus Universalitas Islam

H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA

Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, Lc.MA
(Founder Alquran Institute Banggai)

KALIMAT universal dalam bahasa arab berarti “syumûl”. Kata syumûl dalam bahasa Arab berarti ‘melingkupi segala sesuatu’. Islam yang syumûl atau syumûliah al-Islam berarti ajaran Islam yang mencakup semua aspek kehidupan manusia.

Dalam beberapa ayat al-Quran, Allah Swt. menetapkan konsep universalitas Islam. Baik secara global maupun secara terperinci sesuai dengan segmen kehidupan manusia. Allah Swt berfirman dalam surat al-Nahl ayat 89, “Dan ingatlah akan hari ketika Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

Ketika Rasulullah Saw. mulai mendakwahkan Islam secara terang-terangan, beliau pernah berkunjung ke Bani Syaiban bin Tsa’labah. Waktu itu beliau berkomentar terhadap sambutan yang diberikan kabilah tersebut, “Sesungguhnya seseorang tidak menegakkan agama ini kecuali mencakupi semua bagian-bagiannya.” Penegasan Rasulullah Saw. menunjukkan sisi Islam yang universal itu. Beragama dalam Islam adalah beragama dengan semua bagian-bagian Islam. Tidak menjalankan satu bagian dan kemudian meninggalkan bagian yang lain.

Pengertian universalitas Islam sebagaimana yang dikuatkan oleh ayat dan hadis di atas tidak berarti bahwa Islam ketika diturunkan kepada Rasulullah Saw mengandung nash-nash yang memperincikan semua permasalahan umat manusia. Baik yang terjadi di zaman Rasulullah Saw., dan para sahabatnya, atau permasalahan yang muncul di kemudian hari.

Tapi universalitas Islam berarti Islam memiliki nilai-nilai dasar, kaidah-kaidah pokok yang mengatur kehidupan manusia. Sebagian di antaranya dijelaskan secara terperinci terhadap sebuah permasalahan yang ‘tidak berubah’. Sebagian lain hanya mengandung penjelasan secara umum.

Dalam penjelasan umum ini, universalitas Islam memakai dua pendekatan. Pertama, Islam tidak memberikan batasan secara terperinci, tapi Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada akal manusia untuk menggali hukum yang tersimpan di dalamnya. Pendekatan ini dinamakan ‘mantiqah al-afw’ (wilayah yang ditolerir) oleh para ulama. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Bazzar, Rasulullah Saw., bersabda, “Sesuatu yang dihalalkan Allah maka hukumnya halal. Sesuatu yang diharamkan Allah maka hukumnya haram. Tapi hal yang tidak ada dalilnya berarti dimaafkan, maka terimalah kelapangan Allah Swt. Sesungguhnya Allah tidak akan melupakan segala sesuatu.”

BACA JUGA:  Pilgub Sulteng 2024, Rusdy Mastura Cocok Dipasangkan Dengan Amalya Murad

Kedua, Islam memberikan batasan-batasan global tanpa menjelaskannya secara terperinci. Akal manusia diberikan kebebasan untuk berijtihad merincikan hukumnya. Namun tetap berpedoman pada nash-nash yang sifatnya umum.

Islam sebagai agama universal juga tidak berarti mengabaikan keutamaan amal. Seorang yang berislam juga diharuskan memperhatikan kedudukan sebuah amal. Dalam bidang fikih misalnya, dikenal amalan wajib yang harus didahulukan daripada amalan sunnah. Dalam bidang akhlaq, ada perbuatan yang terpuji yang seyogianya dimiliki seorang mukmin dan akhlaq tercela yang harus dijauhi. Untuk mencermati gejala keutamaan amal, seorang mukmin harus mengetahui prioritas amal diselaraskan dengan azas-azas keseimbangan dalam ajaran Islam.

Sebagai risalah terakhir, Islam harus menjadi risalah universal. Berbeda dengan risalah-risalah sebelumnya yang terbatas dari segi waktu, tempat dan objek. Seperti risalah Nabi Isa a.s., hanya dikhususkan untuk Bani Israil yang hidup pada zamannya dan dibatasi masa berlakunya sampai diturunkan risalah terakhir. Maka tabiat risalah yang dibawa nabi Muhammad Saw., tidak terbatas waktu. Tapi akan berlaku sampai akhir zaman. Tidak membatasi objek risalah untuk kaum tertentu tapi sebagai risalah seluruh umat manusia. Tidak dibatasi di wilayah Arab saja, tapi lintas geografis. Artinya risalah Islam yang dibawa Muhammad Saw., menyentuh semua segmen kehidupan manusia.

Islam universal artinya Islam yang mempunyai perangkat-perangkat penggalian hukum yang telah ditetapkan untuk setiap permasalahan manusia. Di manapun dan kapanpun ia berada. Bukan berarti semua peristiwa sudah ada landasan hukumnya dalam nash. Bahkan terhadap peristiwa yang belum terjadi sekalipun. Tidak. Tapi Islam menyediakan software dan hardware untuk menelaah peristiwa dan kejadian yang baru untuk difatwakan hukumnya.

BACA JUGA:  Roadshow Kelembagaan,  SKK Migas – JOB Tomori Santuni 200 Anak Yatim dan Sediakan Seribu Paket Sembako Murah

Contohnya, dalam ilmu fikih ada kaidah yang mengatakan “Pada asalnya semua hal yang berhubungan dengan muamalah manusia adalah halal kecuali ada dalil yang menjelaskannya.” Kaidah ini adalah pondasi utama untuk menggali hukum-hukum terhadap permasalahan yang tidak terkait dengan ibadah. Termasuk masalah ekonomi Islam misalnya. Sementara permasalahan ibadah, kaidah global yang sering dipakai adalah, “Pada asalnya semua hal yang berkaitan dengan ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang menjelaskannya.”

Dalam bidang usul fikih para ulama mengatakan bahwa semua amal yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari lima hal; apakah amalan itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Bila dalam penerapannya terjadi benturan dua amal yang memiliki hukum yang sama maka Islam memiliki lima nilai dasar untuk menentukan skala prioritas amal. Dikenal dengan nama maqâshid syarîah. Yaitu Islam diturunkan untuk menjaga agama, nyawa, harta, keturunan dan kehormatan manusia. Di samping itu, Islam juga telah menjelaskan beberapa amalan secara golbal dan terperinci melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw.

Islam juga mendorong manusia untuk melaksanakan semua ajaran secara kaffah dan tidak parsial. Karena pemahaman parsial justru akan membatasi ajaran Islam itu sendiri. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Saw., pernah menolak orang yahudi yang ingin masuk Islam dengan syarat tetap melaksanakan sebagian ajaran agama Yahudi. Seperti pensucian hari Sabtu, dsb. Sebab ajaran Islam adalah satu kesatuan untuk menciptakan manusia sempurna, selamat di dunia dan bahagia di akhirat.

Bila ajaran tersebut ‘dipilah’ justru akan menimbulkan fitnah yang sangat besar bagi Islam. Dapat dibayangkan bila ajaran jihad saja yang diamalkan oleh sebuah kelompok tertentu, yang membuat Islam justru akan menjadi agama yang menakutkan bagi orang lain. Padahal Islam juga mengajarkan toleransi dan kasih sayang. Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 85, Allah Swt. mencela Bani Israil karena pemahaman parsial mereka. Allah Swt., berfirman, “Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”

BACA JUGA:  Promo Ramadhan Spesial Bersama Hasjrat Toyota Luwuk

Pemahaman utuh bahwa Islam itu multi dimensi, islam itu mengatur semua sector. Islam itu universal yang dipahami dan membentuk karakter generasi. Mereka adalah replika muslim yang utuh. Contohnya Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah. Karangannya menyentuh berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang kedokteran ia memiliki karya diberi judul “al-Thib al-Nabâwi”. Dalam bidang tasawuf ia memiliki karya “Madârij al-Sâlikîn”. Dalam bidang aqidah ia memiliki karya monumental yang menjelaskan setting surga dan neraka yaitu “al-Rûh”.

Kehidupan manusia juga sangat universal. Ada wilayah publik dan wilayah privat. Ada golongan birokrasi dan rakyat biasa, ada tua dan muda. Ada wanita dan pria. Dengan demikian sebuah risalah akhir zaman dituntut untuk universal sesuai dengan tabiat kehidupan manusia. Ada nilai-nilai yang tetap (al-Tsawâbit) dan ada yang berubah sesuai dengan perubahan kebutuhan manusia (al-Mutaghayyirât).

Tsawabit berarti manhaj dan ajaran yang tidak akan pernah berubah. Mentauhidkan Allah dengan Esa dan berbeda dengan makhluk tidak akan pernah berubah. Berpuasa wajib di bulan Ramadan juga tidak akan berubah. Kita tidak bisa menggantinya dengan puasa di bulan Syawal sebulan penuh atau di bulan yang lainnya. Sementara di zaman Rasulullah Saw. masih mengandalkan penglihatan secara kasat mata untuk menentukan awal Ramadan. Sementara dengan perkembangan ilmu pengetahuan, melihat awal bulan sudah didukung perangkat teleskop yang belum ada saat nash melihat bulan disampaikan oleh Rasulullah Saw. ini yang disebut mutaghayyirât.

Pos terkait