Beberapa waktu sebelumnya, para petani plasma sawit saat konferensi pers di Sekretariat PWI Banggai mengaku selama bertahun-tahun nasib mereka tak jelas dan hasil sawit yang diberikan oleh perusahaan tidak mewujudkan kesejahteraan.
Menurut warga, mereka selama ini dirugikan oleh pola transaksi dan pembayaran hasil sawit yang tidak jelas karena tidak disertai rincian jumlah sawait per panen, tidak jelas berapa potongan pembayaran hutang mereka saat awal pembukaan kebun hingga pemeliharaan dan tidak jelas berapa hitungan besaran jumlah yang diterima. Padahal kata mereka, bila hasil sawit itu mereka panen sendiri, maka hasilnya lebih besar.
Kejanggalan lain berdasarkan pengakuan para petani, biaya pembangunan kebun plasma yang semula disebut Rp34-39 juta, namun kenyataannya telah menjadi Rpg3 juta. Biaya pembangunan kebun plasama itu sudah mencakup peningkatan jalan dengan besaran lebih Rp15 juta, ditambah pembangunan jalan dan teras lebih Rp8,5 juta.
Mereka menyebutkan ada lahan yang sudah bersertifikat, karena merupakan lahan 2 transmigrasi dan sebelum jadi kebun sawit sudah menjadi lahan kebun tanaman lain. Dari tanaman yang ada kata petani, mereka bisa mendapatkan hasil yang lumayan. Namun setelah jadi kebun sawit pendapatan yang sudah cukup bagus itu hilang, sementara hasil sawit tidak sesuai harapan.
Sawit yang sudah ditanam sejak 2011, baru ada hasilnya yang dinikmati petani pada tahun 2018, itupun hanya dua bulan yang dibayar perusahaan dengan nilai sekira Rp200 ribu per hektar sekali panen. Lalu tahun 2019, hanya tiga kali dibayarkan dengan nilai sekira Rp300 ribu per hektar sekali panen. Kemudian tahun 2020, hanya lima kali dibayarkan dengan besaran sekira Rp500 per hektar sekali panen. (NAL/DAR)