OLEH: Blasius Dwi Yandu Narcosetyo, S.Psi
(Pembimbing Kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Luwuk)
Dalam autobiografinya, Soekarno mengalami masa di dalam penjara dan penjara terbuka (pembuangan). Dalam satu kisahnya, pada tahun 1930 ada salah seorang sipir di Penjara Banceuy, Bandung bernama Sariko. Sipir penjara ini selalu membantu Soekarno baik menawari rokok, menyelundupkan buku/surat maupun memberitahukan berita-berita dari luar. Suatu hari, Soekarno menginginkan koran. Saat itu surat kabar merupakan barang yang dilarang di dalam penjara. Lewat bantuan Sariko inilah, Soekarno dan teman lainnya dapat membaca koran secara diam-diam. Bagi Soekarno, peran Sariko tidak hanya sebagai penjaga tetapi juga menjadi dewa penyelamatnya.
Pada rentang tahun 1931 dalam penjara Sukamiskin, Soekarno mulai secara penuh mendalami Spiritualitas. Ia menganggap penjara menjadi sebuah sekolah Spiritual. Awalnya, Soekarno kembali mempelajari agama Islam yang dianutnya. Ia mengakui bahwa dirinya merasa sunguh-sunguh beribadah dan memahami Al-Quran di dalam penjara Sukamiskin. Ia juga mengenangkan agama lain dan menyadari bagimana spiritualitas dalam agama-agama dapat menjadi kekuatan bagi Bangsa ini dalam melewati penderitaan yang sudah dialami.
Pengalaman-pengalaman di penjara dan pembuangan itulah yang nantinya kemudian menjadi tempat Soekarno berkontemplasi tentang dasar negara kita yaitu Pancasila. Puncaknya ketika pembuangan di Ende, Soekarno mulai merumuskan konsep awal Pancasila. Perjuangan pahlawan dan produk yang dihasilkan tidak lepas dari tempaan penjara. Dari penjara, para pahlawan belajar tentang kehidupan, kemerdekaan dan hasilnya bisa kita nikmati sampai saat ini. Di sinilah kita harus menyadari bahwa lembaga pemasyarakatan bukanlah tempat sampah atau pembuangan tapi menjadi sumberspiritual bagi perjuangan Bangsa Indonesia sampai kepada Kemerdekaan.
MEWUJUDKAN PEMASYARAKATAN BERDASAR PANCASILA
Pemasyarakatan memiliki hakikat yang bercirikan Pancasila. Pemasyarakatan memiliki hakikat untuk memulihkan kembali kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan (WBP). Hakikat Hidup merujuk pada aspek spiritualitas dalam hal ini terkait dengan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, hakikat kehidupan merujuk pada perubahan perilaku dan hakikat penghidupan yaitu merujuk pada relasi dengan sesama dan lingkungannya. Dari hakikat ini tampak bahwa pendekatan dalam pemasyarakatan adalah pendekatan konstruktif yaitu pendekatan yang membangun, terkait dengan perubahan perilaku yang diharapkan. Pendekatan ini sebenarnya sangat jauh berbeda dari pendekatan elementatif, dimana warga binaan mendapatkan hukuman pembalasan atas tindakan yang telah dilakukan.
Dalam riset Andrew, Zinger, Hoge, Bonta, Genderau, dan Cullen (1990) dengan metode meta-analysis terhadap penelitian tentang intervensi yang sudah dilakukan, ditemukan bahwa efektivitas sebuah sistem pemasyarakatan bisa dilaksanakan dengan memasukkan tiga prinsip yaitu: Prinsip Resiko, Prinsip Kebutuhan dan Prinsip Responsivitas. Dalam Prinsip Risiko, kita memetakan tingkat resiko dari Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Apakah WBP ini memiliki resiko besar untuk mengulangi tindak pidana. Penilaian resiko akan mempermudah dalam melakukan klasifikasi, intensifitas dan bentuk intervensi yang akan dilakukan. Pada WBP dengan resiko yang tinggi, Pemasyarakatan memberikan perhatian sumber daya secara lebih dalam penempatan, pembinaan, pengawasan.
Dalam penilian resiko, pemasyarakatan sudah memiliki alat berupa RRI (Resiko Residivis Indonesia) alat ini dapat menentukan sejauh mana resiko seorang warga binaan untuk kembali melakukan tindak pidana. Tingkat resiko ini juga akan menentukan dimana WBP akan ditempatkan berdasar faktor resiko yang dimiliki. Semakin tinggi resiko maka semakin maksimal pembinaan dan pengawasan yang akan diberikan.
Kedua pada bagian prinsip kebutuhan. Prinsip ini merujuk pada apa yang menyebabkan WBP melakukan tindak pidana. Apa yang menjadi penyebab ini adalah kebutuhan bagi WBP untuk melakukan perubahan perilaku sehingga dalam kehidupan masyarakat lebih adaptif (memperbaiki hubungan dengan lingkungan sosialnya). Apa yang menjadi kebutuhan ini menjadi dasar bagi program yang akan dijalani oleh WBP selama masa pembinaan dan dapat menjadi bahan evaluasi secara terukur. Pemasyarakatan sendiri sudah memiliki alat penilaian faktor-faktor kriminogenik. Penilaian ini untuk mengetahui kebutuhan dari WBP sehingga dapat melihat faktor yang dominan menjadi penyebab terjadinya tindak pidana dan apa yang bisa dilakukan. Pada bagian ini sudah dapat ditentukan kebutuhan dan tindakan apa yang bisa dilakukan.
Terakhir adalah prinsip responsivitas. Pada prinsip responsivitas bagimana intervensi ini dapat sampai, dipahami, menginspirasi dan dilaksanakan oleh WBP. Pada Prinsip ini, relasi antar WBP dan pemberi intervensi sangat diperlukan. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dilaksanakan pada bagian ini. Pertama intervensi yang dilakukan sudah duji dan memiliki tingkat efektivitas baik (base evidence). Kedua, intervensi dilakukan sesuai dengan standar pentahapan dan bisa dilakukan audit. Terakhir, Intervensi dilakukan sesuai dengan gaya belajar/ pemahaman WBP.
Banyak sekali program-program yang memiliki efektivitas tinggi dan bisa diadaptasikan seperti Reasoning and rehabilitation (R&R), Straight Thinking On Probation (STOP), Sex Offender Treatment Program (SOTP), Enhance Thinking Skill (ETS), Think First maupun Community Therapy. Program-program ini berakar pada intervensi Kognitif sebagai gelombang kedua dari tradisi behavioral (perilakuan). Salah satu intervensi Kognitif yang cukup terkenal adalah Cognitive Behaviour Terapi (CBT) merupakan Terapi dengan hasil riset memiliki efektivitas tinggi dalam perubahan perilaku.
Ketiga Prinsip kunci tersebut menjadi pegangan bagi pemasyarakatan (Lapas/Rutan/ Bapas) dan menjadi pertanggungjawaban yang terukur dalam memenuhi hakikatnya. Lebih dari itu, tiga prinsip kunci menjadi pertanggunjawaban bahwa Pemasyarakatan menghidupi nilai-nilai Pancasila. Alat ukur maupun bentuk-bentuk intervensi akan terus berkembang sesuai dengan kebaharuan dari riset-riset yang akan terus muncul menyesuaikan kebutuhan dan kondisi WBP yang ada.
NON SCHOLAE SED VITAE DISCIMMUS
Bukan untuk sekolah saya belajar tetapi untuk kehidupan. Demikian ungkapan pepatah Bahas Latin di atas. Pemasyarakatan pada masa datang dapat menjadi sebuah “sekolah” dimana WBP tidak hanya menjalani hukuman atau membentuk perubahan perilaku tetapi menjadi tempat bagi warga untuk mempelajari dan menggali nilai-nilai kehidupan (Kebermaknaan). Semoga perjalanan waktu dan ruang di dalam relung-relung pemasyarakatan, tidak hanya menjadi bekal para pahlawan yang berhasil mencapai kemerdekaan tetapi juga WBP yang mencapai kemerdekaan atas kehidupannya. ***