Menyelami Wacana Impor Beras

OLEH : SYAHRONI, S.P.,
(Mahasiswa Magister Sains Agribisnis, IPB University)

Pada hakikatnya, beras merupakan salah satu komoditas pangan strategis yang permintaannya terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk (cateris paribus). Kebutuhan akan beras yang terus meningkat sulit dibendung, terutama di Indonesia. Hal ini selain disebabkan populasi atau pertumbuhan penduduk Indonesia yang positif (menurut BPS tahun 2021 mencapai 270,20 juta penduduk dan diperkirakan tahun 2030 mencapai 294,11 juta penduduk), juga karena ketergantungan penduduk dalam mengonsumsi beras yang sulit dihilangkan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan beras dan mengurangi ketergantungan konsumsi beras, diantaranya mendorong adanya diversifikasi konsumsi pangan, membangun lumbung pangan(food estate) di Kalimantan Tengah, sampai pada upaya melakukan impor beras. Namun, upaya-upaya tersebut justru dianggap merugikan banyak pihak terutama petani, dan di sisi lain dianggap hanya menguntungkan cukong-cukong besar (mafia pangan).

Terlepas dari kontroversi tersebut, data BPS dan Kementan menunjukkan bahwa produksi padi di Indonesia tahun 2020 lalu mencapai 54 juta ton dengan kebutuhan konsumsi beras sebesar 111,58 kilogram per kapita per tahun yang jika dikalikan dengan populasi penduduk sebanyak 270,20 juta orang maka kebutuhan konsumsi beras mencapai 30 juta lebih ton per tahun. Hal ini berarti terdapat surplus lebih dari 16 juta ton beras (dengan asumsi dikurangi 20% padi yang hilang saat proses pasca panen) yang bisa dicadangkan pemerintah melalui perusahaan umum badan urusan logistik (Bulog) di tahun 2021.

BACA JUGA:  Anggota DPRD Banggai Sebut Luwuk so Kotor

Melalui Bulog, pemerintah seharusnya bisa menyerap surplus tersebut sehingga dapat menjaga stabilitas harga beras dan menjamin ketersediaan beras di tahun berikutnya. Namun, cadangan pangan beras Bulog per tahun 2021 hanya mencapai 800 ribu ton (termasuk 300 ribu ton diantaranya merupakan beras impor tahun 2018 yang telah menurun kualitasnya) yang seharusnya tersedia stok minimal 1-1,5 juta ton beras setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan Bulog dalam menjalankan perannya sebagai pengelola stok pangan nasional dan menjaga stabilitas harga pangan.

Upaya meningkatkan kualitas Perum Bulog pun menjadi kunci dalam memperbaiki dinamika perberasan nasional dalam jangka panjang. Apalagi menurut data BPS tahun 2021, produksi padi nasional meningkat sebesar 25,37 juta ton gabah kering giling (GKG) antara bulan Januari sampai April 2021 atau mengalami peningkatan sebesar 5,37 juta ton jika dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun 2020 yang sebesar 19,99 juta ton GKG. Potensi produksi yang besar tersebut diharapkan mampu memenuhi kebutuhan beras nasional.

BACA JUGA:  Lima Mahasiswa Unismuh Luwuk Ikuti ONMIPA-PT Tingkat LLDIKTI XVI, Ini Daftar Namanya!

Selain itu, berdasarkan data tersebut, peran Bulog saat ini sangat penting dalam menjaga stabilitas harga beras dan stok beras nasional. Bulog dapat melakukan operasi pasar yaitu dengan membeli kelebihan stok di tingkat petani sehingga mampu menjaga stabilitas harga beras. Jika tidak demikian, maka akan berlaku hukum ekonomi, yaitu apabila produksi suatu barang meningkat maka harga barang tersebut akan menurun. Pada sektor pertanian, hal ini biasanya terjadi pada saat panen raya yang pada akhirnya merugikan petani jika Bulog tidak memainkan perannya.

Selain itu, upaya menjaga ketersediaan dan stabilitas harga beras nasional juga dapat dilakukan dengan membuka keran impor. Kegiatan impor dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan produk dalam negeri, memengaruhi harga barang dalam negeri maupun meningkatkan cadangan nasional. Namun demikian, kegiatan impor dalam banyak keadaan hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang rapuh bahkan di sisi lain hanya akan merugikan produsen dalam negeri.

BACA JUGA:  Terdakwa Korupsi, JPU Kejari Banggai Tuntut Mantan Kades Matabas 4 Tahun Penjara dan Bayar Uang Pengganti Rp592 Juta

Pada kasus beras, berdasarkan uraian di atas maka kebijakan impor beras sangat tidak tepat di tahun 2021 ini. Impor beras malah hanya akan menurunkan harga padi di tingkat petani, sehingga akan merugikan petani terutama petani kecil yang menurut data BPS tahun 2020 mencapai 33,4 juta orang petani dan sebagian besar hidup dibawah garis kemiskinan. Maka dapat dipahami, jika kemudian muncul berbagai opini publik bahwa kebijakan impor beras sebesar 1 juta ton hanya akan menguntungkan para cukong, para pemburu rente atau yang biasa disebut mafia pangan.

Oleh karena itu, rencana impor beras sebesar 1 juta ton di tahun 2021 ini sebagai solusi untuk memenuhi cadangan beras nasional agar keseimbangan perberasan nasional dapat terwujud, perlu untuk dikaji lagi secara komprehensif dengan berbasis data. Menurut hemat penulis, solusi yang tepat saat ini adalah dengan memperbaiki dan mengoptimalkan peran Bulog dalam menyerap surplus produksi padi dalam negeri, di samping itu juga perlu untuk memperbaiki perlakuan pasca panen padi ditingkat petani maupun pengumpul sehingga dapat mengurangi jumlah padi yang hilang saat proses tersebut. ***

Pos terkait