BANGGAI RAYA- Puluhan pemuda dan mahasiswa serta sejumlah organisasi di Kecamatan Batui turun ke jalan melakukan unjuk rasa untuk menolak masuknya Perusahaan Tambang Nikel di Kecamatan Batui, Sabtu (16/1/2021).
Unjuk rasa itu dimulai dengan long march seputaran Kecamatan Batui dan titik kumpul di Pasar Batui. Masyarakat Batui dengan tegas menolak tambang nikel.
Front Masyarakat Batui Menolak Tambang Nikel ini juga mendesak pemerintah untuk menyikapi penolakan tambang nikel yang dilakukan masyarakat.
“Secara tegas kami masyarakat Batui menolak perusahaan Tambang yang akan masuk di Kecamatan Batui,” ungkap Koordinator Lapangan, Rahmat Agung Nugroho dalam rilisnya yang diterima Banggai Raya, Sabtu malam.
Dijelaskan, saat ini ada dua Perusahaan Tambang Nikel di Kecamatan Batui yakni PT. Banggai Kencana Permai dan PT. Indo Nikel Karya Pratama. Bahkan kedua perusahaan itu telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan sekarang dalam tahapan penerbitan Izin Lingkungan.
PT. Indo Nikel Karya Pratama saat ini diketahui memiliki wilayah pertambangan dengan konsesi (3.047 Ha) dan PT. Banggai Kencana Permai (8.000 Ha). Namun wilayah pertambangan PT. Banggai Kencana Permai meliputi dua kecamatan lainnya yakni Kecamatan Batui Selatan dan Moilong.
Rahmat Agung Nugroho, yang juga Ketua Himpunan Mahasiswa Batui Cabang Makkasar itu mengatakan, konflik masyarakat dengan perusahaan sampai saat ini belum diselesaikan Pemerintah.
“Kurang lebih 20-an lebih Investasi yang ada di Kecamatan Batui namun sampai hari ini tidak mampu mensejahterakan masyarakat. Apalagi ditambah dengan adanya kehadiran perusahaan Nikel yang pastinya akan mengarah pada Konflik Agraria,” cetusnya.
Diketahui kata Agung, Pertambangan Nikel merupakan salah satu Industri ekstraktif, yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam. Sehingga sangat berpotensi pada pengrusakan terhadap Ekonomi, Lingkungan, dan Adat/Budaya.
Sementara itu, menurut catatan Jatam Sulteng, basis utama pertumbuhan ekonomi di sektor tambang dan galian di Sulteng ditopang oleh kekerasan dan konflik perebutan lahan antara rakyat dengan investor/perusahaan tambang yang disponsori pemerintah daerah sebagai pemberi izin. Konflik-konflik yang muncul biasanya berupa kekerasan, pengusiran, kriminalisasi, dan intimidasi. JAD/*