Komunitas Adat Terpencil Loinang, Dari Nomaden, Kini Menata Hidup di Tombiobong

POLA bercocok tanam yang diprogramkan oleh JOB Tomori bersama PD Aisyiyah di Tombiobong. FOTO ISKANDAR
Oleh Iskandar Djiada

BANGGAI RAYA-Mungkin tak pernah terbayangkan dibenak om Sekap, untuk menetap di satu lokasi, kemudian membangun rumah dan berinteraksi dengan banyak orang dari luar komunitasnya. Pria etnis Loinang yang memiliki seorang istri dan delapan anak itu, sebelumnya adalah salah satu warga yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di wilayah hutan atau pegunungan.

Pola kehidupan berpindah-pindah tempat ini pula yang dijalani oleh warga lain di Komunitas Adat Terpencil (KAT) Loinang atau Saluan asli yang mendiami wilayah pegunungan Batui hingga ke wilayah Pagimana dan Bunta.

Dari penuturan om Sekap, jalur di antara pegunungan Bunta, Nuhon dan kawasan Batui itu, sudah menjadi rute rutin mereka.Tak heran bila ada sebagian anaknya yang kini bermukim di Desa Bangketa, Kecamatan Nuhon.

Bacaan Lainnya

Ia mengatakan, selama ini mereka memang hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain demi memenuhi kebutuhan hidup. Wilayah pegunungan Batui yang memanjang dari Batui hingga Toili dan dari Pagimana hingga Bunta dan Nuhon, adalah kawasan yang memang dihuni oleh masyarakat Loinang atau Saluan asli. Mereka hidup dari hasil alam yang memang tersedia di kawasan belantara. Warga Loinang kata Sekap, baru turun ke kawasan pesisir, saat butuh garam, sebagai campuran makanan.

Seiring perjalanan waktu, kehidupan warga Loinang ini mulai mengalami perubahan. Beberapa warga Loinang mulai mengikuti program pemerintah untuk menetap di lokasi tertentu, salah satunya di Tombiobong, yang masuk dalam wilayah Desa Maleo Jaya, Kecamatan Batui Selatan.

Tombiobong yang kini berstatus dusun, bagian dari Desa Maleo Jaya, masih berada di kawasan hutan dengan waktu tempuh sekira 3 jam dari Kota Luwuk. Untuk menjangkaunya, setelah dari jalan poros Trans Sulawesi  yang menghubungkan Luwuk-Toili, belok ke arah Desa Sukamaju dari pertigaan Puskesmas Sinorang. Setelah dari Sukamaju, masih terus hingga sampai di Desa Maleo Jaya. Di ujung desa tersebut, ada jembatan gantung yang dibangun oleh Vertical Rescue beberapa tahun lalu, dan menjadi sarana penyeberangan untuk melintasi sungai Tombiobong. Usai menyeberangi jembatan tersebut, selanjutnya bisa berkendara roda dua dengan jalur jalan yang berbatu dan menanjak sekira 3 kilometer, barulah kemudian sampai di Dusun Tombiobong.

ANAK-anak Tombiobong yang mulai memanfaatkan sarana bermain di PAUD setempat. FOTO ISKANDAR

Sebenarnya di saat sungai tidak banjir, dusun tersebut bisa dijangkau oleh kendaraan roda empat dengan menyeberangi sungai dan kemudian mengikuti rute jalan berbatu dan menanjak yang dilalui oleh kendaraan roda dua. Namun kendaraan roda empat yang bisa melintasi sungai dan melewati jalur jalan berbatu dan menanjak, hanya jenis tertentu seperti kendaraan SUV.

Kembali ke kisah sekap, warga Tombiobong. Pria yang kini telah memiliki tempat tinggal atau rumah panggung berbahan kayu itu, mengakui bahwa kehidupan menetap yang jadi pilihannya bersama sejumlah warga lain, memang membuat sejumlah hal berubah. Bila sebelumnya atau saat mereka masih hidup berpindah-pindah, mereka tak butuh bercocok tanam secara tetap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab kebutuhan hidup, bisa diperoleh dari hasil alam, baik memetik hasil tanaman yang tersedia hingga berburu hewan di hutan.

Kini kata dia, setelah mereka menetap, maka bercocok tanam dan beternak sudah harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka juga sudah harus memperbaiki tempat tinggalnya, agar layak dipakai menetap dalam jangka waktu yang lama. Bila dulu, mereka cukup membangun rumah seadanya berbahan  daun rumbia, kini sudah harus ada rumah yang lebih layak berbahan kayu dengan atap seng atau atap daun sagu yang dijahit rapi. Beberapa bangunan bahkan sudah mulai berlantai semen. Di samping itu, sarana lain seperti air bersih, juga sudah harus tersedia di dekat rumah, walaupun ada sungai dengan air yang masih sangat jernih tak jauh dari kawasan pemukiman mereka.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka kata Sekap, warga mulai menanam padi ladang secara rutin. “Kami sudah mulai tanam padi lading jenis habo. Saya  biasanya mendapatkan hasil 20 sak satu kali panen. Satu tahun satu kali tanam. Untuk satu sak bisa dijual dengan harga 200 ribu rupiah,” kata Sekap dalam bahasa Saluan asli.

Pemukiman KAT Loinang di Tombiobong, sejak beberapa tahun lalu mendapatkan pembinaan organisasi Muhammadiyah melalaui Pengurus Daerah Aisyiyah. Organisasi keagamaan ini, selain mengajarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keseharian mereka, juga mulai memperkenalkan sistem pendidikan, terutama untuk anak usia dini, agar anak-anak Loinang bisa mendapatkan pengetahuan dan sekaligus bermain berkelompok sambil belajar, seperti anak-anak di desa lain. Tak hanya itu, PD Aisyiyah Banggai yang diketuai Sri Moxa Jalamang, juga mulai memperkenalkan cara bercocok tanam yang baik, agar lahan yang tersedia bisa memberii hasil lebih dan tingkat kesuburannya bisa dipertahankan. Pelan tapi pasti, Dusun Tombiobong yang dihuni 32 kepala keluarga, dengan 29 diantaranya adalah kepala keluarga asli Suku Loinang, mulai mengalami perubahan.

Kepedulian PD Aisyiyah ini, sejak setahun lalu mulai mendapatkan sokongan dari Joint Operating Body Pertamina Medco E&P Tomori Sulawesi (JOB Tomori). Perusahaan hulu migas yang ada di bawah pengawasan SKK Migas dan beroperasi di Kabupaten Banggai itu, mulai melibatkan diri pada sejumlah program sosial dan ekonomi melalui Seksi Community Development (comdev).

Selain sarana air bersih dan MCK, program yang dilaksanakan JOB Tomori bekerja sama dengan PD Aisyiyah Banggai adalah pembangunan gedung sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), sehingga sarana pendidikan untuk anak-anak Tombiobong lebih layak. Program lain yang dikerjasamakan perusahaan hulu migas itu adalah sektor pertanian, melalui pengembangan kebun sahabat alam. Para petani warga Loinang mulai diberikan pengetahuan untuk bercocok tanam dengan pola yang lebih modern, dengan harapan hasil panennya lebih banyak. Seperti kebun bawang merah yang penanaman perdananya dilakukan pada Minggu (30/5/2021), bersamaan dengan peresmian penggunaan gedung PAUD. Pada saat yang sama, anak-anak Tombiobong juga mulai mendapatkan tambahan asupan gizi melalui pemberian makanan tambahan, dengan harapan bisa mencegah terjadinya stunting, atau tubuh pendek karena asupan gizi yang tidak sesuai kebutuhan pertumbuhan tubuh.

Relation, Security & Comdev Manager JOB Tomori Agus Sudaryanto berharap, kerja sama dengan PD Aisyiyah Banggai ini terus berlanjut, demi masa depan warga dan anak-anak suku Loinang di Tombiobong. Warga Loinang di Tombiobong kata dia, juga harus mendapatkan perhatian, termasuk dari perusahaan JOB Tomori yang berdiri di Kecamatan Batui Selatan.

Harapan yang sama disampaikan Spesialis Dukungan Bisnis SKK MIgas Kalsul Damar Setiawan yang ikut meninjau langsung kawasan pemukiman Komunitas Adat Terpencil Loinang itu. Ia juga berterima kasih pada warga Loinang yang mau menerima program pemberdayaan, termasuk pemberian makanan tambahan untuk peningkatan nutrisi anak.

Sebelumnya, Comdev Section Head JOB Tomori Yudi Yanto mengatakan, kerja sama pemberdayaan yang dilakukan bersama PD Aisyiyah ini, dimaksudkan agar warga Loinang yang dulunya hidup secara nomaden, bisa betah dan menetap di pemukiman, untuk kemudian mendapatkan pengetahuan serta menata kehidupan sosial ekonomi mereka. Program pemberdayaan yang dilaksanakan, juga sesuai dengan program pemerintah, yakni peningkatan kehidupan sosial ekonomi masyarakat serta penanggulangan stunting. Meski demikian, perhatian terhadap kelestarian lingkungan juga akan tetap dijaga, karena kehidupan masyarakat Loinang tak lepas dari lestarinya alam di sekitar mereka.

Om Sekap, sebagai salah satu tokoh masyarakat Loinang Tombiobong yang dimintai pendapatnya terkait masuknya program pemberdayaan yang dilaksanakan JOB Tomori bersama PD Aisyiyah, menyatakan cukup bagus.

Walau demikian, ia masih menitip pesan kepada penulis dan sejumlah wartawan yang mengunjungi kawasan pemukiman Tombiobong, bahwa keinginan mereka adalah perbaikan jalan dari jembatan gantung hingga di lokasi pemukiman, serta ketersediaan listrik sebagai sarana penerangan. “Kami masih butuh jalan dan listrik,” tuturnya lagi dalam bahasa Saluan.

Yah, kebutuhan jalan dan listrik itu memang wajar, demi memudahkan transportasi hasil kebun mereka serta untuk menerangi kehidupan malam di dusun yang berada di kaki pegunungan Batui itu.**

Pos terkait