BUDAYA POLITIK NEGERI MANUSIA

Oleh : SARTUN T. LANDENGO
Sebagai satu daerah otonom yang telah berusia nyaris setengah abad. Kabupaten Banggai (Luwuk) tentu sudah cukup dewasa dalam melewati semua dinamika sosial politik yang tumbuh di tengah perbedaan latar belakang warganya yang plural dan dialektis.
Hal ini tidak luput dari sejarah panjang daerah kabupaten Banggai yang banyak menorehkan peristiwa historic yang patut diketahui oleh para penerus negeri ini.
Sejarah masa lampau tentu dapat dijadikan bahan telaah atas rentetan peristiwa di era milenial agar kita tidak mengalami disorientasi dalam mengahadapi masa kini dan akan datang. Karena daerah dengan beragam entitas suku bangsa di dalamnya seperti kabupaten banggai mutlak ditandai adanya perbedaan perilaku individu dan kelompok, ini akan menjadi hal yang sulit untuk kita bisa berlaku sama dan memuaskan semua pihak, apalagi dalam hal politik apabila kita tidak punya cukup stok argumentasi historic yang meneduhkan.
Sebagai generasi pelanjut kita butuh suatu narasi yang bisa dijadikan gagasan ideologis sistemik, dengan karakter yang damai dan beradab agar persaingan politik yang hendak dipratekkan mampu mencipta harmonisasi atas perbedaan-perbedaan yang ada, dengan demikian kita bisa berlaku sama, walaupun tidak mampu memuaskan semua pihak, namun setidaknya mendekati makna adil.
Hal ini diperlukan agar semangat pembangunan demokrasi dengan budaya politik damai dan beradab di kabupaten Banggai dapat mewujud. Belajar dari sejarah dan nilai kearifan lokal di masa lampau daerah ini, kita akan menemukan nilai dari saripati budaya bangsa Banggai sebagai jawabannya. sebab ada tata nilai yang cukup baik untuk dijadikan referensi atas kondisi saat ini.
Karena soal tata kelola atas keberagaman dalam semangat demokrasi, bangsa banggai (lobo, loinang, lo’on) kita tidak harus menguras energi untuk belajar kepada Almond dan Verba juga pada tokoh-tokoh lain pada binar budaya politik yang mereka maksudkan. Tentu, penulis “tidak bermaksud melarang pembaca untuk mencari referensi lain selain pada sejarah daerah ini” hanya saja penulis menekankan bahwa kita punya cukup referensi pada sejarah negeri ini. Kalau bung Karno katakan “Jasmerah, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966).
Kabupaten Banggai adalah serangakaian peradaban kemanusian yang bertalian erat dengan Kerajaan Banggai. Dimana secara cultural maupun historis negeri Babasal ini tidak bisa lepas dari sejarah peradaban Kerajaan Banggai. Karena sebelum kita mendengar, juga mempraktekan ajaran demokrasi ala Athena Yunani Kuno abad ke-5 SM, dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Banggai sebagai suatu negeri yang pernah berdaulat di masa lampau juga sudah mempratekan hal serupa dengan makna yang dimaksud oleh demokrasi itu sendiri.
Nilai demokrasi itu kongkrit dipraktekan dalam pemilihan para pemimpin kerajaan Banggai, mulai dari yang pemimpin tertinggi raja (tomundo) sampai pada pemimpin menengah dan terendah seperti kepala-kepala wilayah (Basalo, Bosanyo, Bosano) dan kepala-kepala bense/desa (tonggol). Dimana dikala itu semua melalui mekanisme seleksi, yang dipilih oleh para pembesar sebagai perwakilan dari masyarakat Kerajaan Banggai. Sekalipun dalam perdaban kemanusiaan sistem kerajaan di dunia dikenal penunjukan lansung terhadap raja-raja yang hendak meminpin kerajaan tapi sistem ini tidak berlaku di kerjaan Banggai. Sejarah ini penanda kalau wacana demokrasi bukanlah hal yang baru di negeri Babasal ini, karenanya, kita tidak perlu gugup dan gagap menghadapi dinamika dari pesta-pora demokrasi saat ini, sebab kita adalah entitas suku bangsa yang telah banyak melewati panjangnya sejarah hajatan-hajatan demokrasi, bahkan sebelum Banggai mengindonesia.
Karenanya, mewujudkan budaya politik yang baik dan beradab agar kualitas pembangunan demokrasi di negeri Babasal saat ini kita-pasti bisa, sebab bangsa Banggai (Lobo, Loinang, Lo’on) punya DNA sebagai bangsa demokratis, dan sejarah panjangnya telah membuktikan itu.
Mari sekilas kita mereview makna filosofis dari nama negeri ini (Kabupaten Banggai). Mungkin sudah banyak yang tau arti dari Banggai itu sendiri, namun tak ada salahnya kalau kita kembali mereviewnya sebagai sebuah renungan epistimologis. Ada beberapa referensi soal nama Banggai ini, ada yang menyebut Bagagai, Banggapi, dan Benggawi, mungkin ada yang lain lagi namun penulis belum mengetahui selain dari tiga nama ini. Dari tiga nama ini yang lebih populer adalah Benggawi dan Banggapi. Oleh beberapa senior penulis, lebih memilih nama Banggapi ketimbang Benggawi itu sendiri alasan mereka Benggawi terlalu bernuansa feodal hasil penyimpangan penulisan teks Banggapi oleh Mpu Prapanca (versi sanskerta) sehingga nuansanya tidak cukup mengejewantahkan perilaku kelas sosial dari seluruh entitas suku bangsa yang begitu banyak di tanah babasal ini. “BANGGAPI” menjadi pilihan terbaik karena cukup memiliki nilai keluhuran yang bisa mengejewantahkan keadaan yang ada, dan dapat merawat semangat perjuangan kedaulatan kebudayaan di tanah babasal.
Secara etimologis kata “Banggapi” sendiri berarti manusia. Kabupaten Banggai adalah negeri manusia. Banggai yang menjadi bangian dari tanah babasal selain dari Bangkep dan Balut, adalah negeri dimana eksistensi dan esensi kemanusiaan manusia menjadi hal paling dihargai dalam semua praktek kehidupan yang kita lakoni, termasuk dalam hal sosial politik. Dimana asal usul kita, dari mana datangnya, tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dipersoalkan, selama kita saling menghargai, menghormati, berbudi pekerti yang baik dan saling memanusiakan diantara sesama, maka dia adalah Banggapi itu, dia adalah orang babasal. Lanjut soalan politik, politik sebagai alat perjuangan kemanusiaan, mengandung makna sama dengan politik potoutusan/motoutusan/montolutusan ala orang babasal, dimana dalam pratek dan cita-citanya, politik ini selalu memposisikan eksistensi kemanusiaan manusia pada posisi terpenting, dan selalu memegang teguh kebersamaan, nilainya selalu membawa semangat kesamaan nasib, kesamaan harapan, dan kesamaan perjuangan.
Dengan makna filosofis yang terkandung pada nama kabupaten ini Banggai (Banggapi=manusia) dan mengusung semangat poto’utusan dalam pratek politik di tanah Babasal ini maka upaya pengelolaan SDM dan SDA, juga manajemen pemerintahan yang baik (good governance), serta upaya mewujudkan kualitas demokrasi yang baik dengan budaya politik yang beradab sebagai upaya menuju kabupaten Banggai yang lebih baik sangat memungkinkan untuk diwujudkan.
Penulis mengigat, pada 23 desember 2019 silam, tepatnya di deho cafe, kota Luwuk kabupaten Banggai adalah moment dimana para tokoh politik daerah ini meneguhkan komitmen kedamaian, sebut saja Pak Ma’mun Amir, Pak Samsul Bahri Mang, Pak Amirudin, Pak Haris Hakim, dan Ibu Suliati Murad, memberikan isyarat kepada publik kabupaten Banggai dan kepada seluruh penduduk tanah Babasal, tetap jaga kebersamaan sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun. Bahwa perbedaan pilihan politik tidak bisa menjadikan kita saling gontok-gontokan, saling membenci satu dengan yang lain, juga sebagai pesan moral agar kita tetap teguh dan jangan termakan politik adudomba, provokasi yang bermaksud memecah belah semangat poto’utusan di tanah babasal ini. (**)

BACA JUGA:  Koalisi Gerindra-Nasdem Hampir Pasti

BACA JUGA:  Koalisi Gerindra-Nasdem Hampir Pasti

Penulis adalah Ketua Dewan Pembina Kerukunan Mahasiswa Indonesia Montolutusan Banggai (KaMIMo Banggai) Luwuk

BACA JUGA:  Koalisi Gerindra-Nasdem Hampir Pasti